Pasca gagal di bisnis kuliner, Ivan melakoni banyak usaha lain, mulai jualan baju secara online hingga membuka gerai ponsel dan aksesori. “Saya sejak kuliah memang ingin jadi entrepreneur,” ucap dia.
Yang terbilang sukses dari sederet bisnis itu adalah konter handphone. Bahkan, ia sempat punya lima cabang. Gerai pertamanya ada di ITC Depok.
Maklum, sang pacar yang sekarang jadi istrinya tinggal di Depok. Dan, Ivan patungan dengan pacarnya untuk membuka gerai di ITC Depok pada 2007.
Pemantauan gerai dia serahkan ke sang pacar. Sebab, ia masih harus mengurus Titan yang ada di Kemanggisan. “Konter HP sampai 2012. Pas BlackBerry dan HP Esia booming, bisnis saya mulai kacau, kesulitan dapat barang dan untungnya kecil,” katanya.
Tetapi, sebelum menutup usaha konter ponsel, Ivan kembali terjun ke bisnis kuliner, sekalipun pernah berucap: enggak mau masuk ke usaha ini lagi. Tapi kali ini, dia tidak membangun dari nol.
Berkongsi dengan seorang teman asal Manado, ia membuka gerai waralaba ayam penyet pada 2008. Lokasinya tidak di Jakarta dan sekitarnya, melainkan di Manado.
Ada dua alasan yang membuatnya balik ke bisnis kuliner. Pertama, bujuk rayu sang teman asal Manado.
Kedua, karena membuka gerai waralaba, maka Ivan enggak perlu repot-repot lagi merintis bisnis dari awal. Contoh, harus mencari jurus masak. “Saya enggak mau, saya trauma,” tegas dia.
Dari bisnis waralaba itu, ia banyak belajar. Mulai pengolahan dapur yang benar, cara menghitung stok dan harga, sampai membuat resep.
Tapi, gara-gara kongsi pemilik waralaba ayam penyet yang berpusat di Batam tersebut pecah dan mengakhiri semua kerjasama dengan mitra, Ivan pun terpaksa menutup gerainya dan kembali ke Jakarta pada 2009.
Kemudian, dia memberanikan diri membuka gerai kebab dengan mengusung nama Kedabra. Ia menawarkan kemitraan dan mendulang sukses besar lantaran punya 48 cabang.
Hanya, manajemen kemitraan Ivan buruk. Ia melepas begitu saja semua mitra tanpa kontrol.
Walhasil, banyak mitra yang tidak lagi membeli bahan baku dari pusat. Bahkan, tak sedikit yang mengganti merek dagang. “Saya putuskan untuk enggak lanjut pada 2013,” ujar dia yang sempat punya tiga cabang Kopitiam Story sebelum merintis What’s Up Cafe.
Kisah memulai What’s Up Cafe berawal dari pertemuannya dengan Ayu Zulia Zhafira, mahasiswi Binus University, saat Ivan jadi dosen tak tetap di almamaternya. Ayu mengajaknya membuka kafe yang mengincar pasar mahasiswa. “Karena untuk mahasiswa, artinya harus murah meriah tapi makanan dan tempatnya harus kelihatan wah,” jelasnya.
Setelah melakukan riset, Ivan menemukan, makanan favorit mahasiswa adalah mi instan, roti bakar, dan nasi goreng. Pilihannya jatuh ke mi instan.