Studi ini juga mengungkap perbedaan mencolok dengan beberapa negara maju seperti Jepang, Inggris, dan Turki, yang menempati posisi terbawah dalam hal kesejahteraan secara menyeluruh.
Hal ini memperkuat temuan bahwa kemajuan ekonomi tidak otomatis sejalan dengan perasaan bahagia atau hidup yang bermakna.
Lebih lanjut, Dr. Indrawan mendorong agar pendekatan serupa juga mulai digunakan dalam menilai kualitas hidup di lingkungan lain, termasuk dalam dunia korporasi.
Menurutnya, kemakmuran sejati tidak hanya relevan untuk negara, tetapi juga bisa menjadi tolok ukur baru dalam menilai kesuksesan organisasi atau perusahaan.
“Kehidupan yang hangat, hubungan sosial yang terjaga, dan rasa kebersamaan masih banyak ditemukan di masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan nilai-nilai spiritual. Itu semua ternyata berdampak besar pada kualitas hidup,” jelasnya.***
Baca Juga: Publik Menanti KPK Bertindak, Yaqut Cholil Tiga Kali Mangkir dari Panggilan Pansus Haji