Bambu Bisa Atasi Banjir dan Tanah Longsor?

photo author
- Sabtu, 2 Desember 2017 | 15:45 WIB
060415400_1470396214-20160805-Pemasangan-Turap-Bambu-di-Kali-Ciliwung-Jakarta--Gempur-M-Surya-01
060415400_1470396214-20160805-Pemasangan-Turap-Bambu-di-Kali-Ciliwung-Jakarta--Gempur-M-Surya-01

SUDAH sejak lama masyarakat di Kabupaten Kuningan tepatnya di bantaran Sungai Cijangkelok di Desa Citenjo merasa khawatir ketika musim hujan datang.

Hal ini diakibatkan oleh bencana banjir yang kerap melanda daerah tersebut. Salah satu bencana yang masih terkenang dalam ingatan warga adalah banjir pada Januari 2017.

“Saya masih ingat waktu itu 22 Januari 2017 pukul 12.00 siang. Hujan turun sangat lebat. Pukul 02.00 pagi hujan reda, pukul 04.00 pagi hujan lebat turun lagi. Hujan berlangsung 3-4 jam,” ujar petugas Operasi dan Pemeliharaan Daerah Aliran Sungai (OP DAS) Cisanggarung, Kuningan, untuk Sungai Cijangkelok, Yayat Sudiyatna.

Yayat juga menjelaskan, pada sore harinya, permukaan air sungai mulai meluap dan luber sampai ke permukiman warga.

“Air banjir ini mencapai satu meter dan menggenangi tujuh desa. Desa Citenjo merupakan yang terparah,” tambah pria yang bekerja memantau proyek bioengineering di bantaran Sungai Cijangkelok ini.

Melihat kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung memberikan perhatian khusus terhadap Desa Citenjo.

Sebulan berikutnya, yakni pada Februari 2017, dibangunlah tanggul oleh BBWS Cimanuk Cisanggarung yang bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk mencegah banjir susulan.

Yang dibangun ini bukanlah tanggul pada umumnya, melainkan tanggul yang terbuat dari bambu dengan metode bioengineering.

Bambu yang ditanam ini berfungsi untuk menahan air sungai yang meluap dan menyebabkan banjir di Desa Citenjo, Kab. Kuningan, Rabu (15/11/2017).

Bambu yang ditanam ini berfungsi untuk menahan air sungai yang meluap dan menyebabkan banjir di Desa Citenjo, Kab. Kuningan, Rabu (15/11/2017).(Alek Kurniawan)

Dalam bahasa Indonesia, bioengineering dapat diartikan menjadi rekayasa hayati. Melansir laman Institut Teknologi Bandung (ITB), Selasa (28/11/2017), rekayasa hayati merupakan disiplin ilmu yang diaplikasikan dalam perekayasaan berbasis biosistem (gabungan ilmu biologi, lingkungan, dan pertanian) untuk meningkatkan efisiensi fungsi dan manfaat biosistem itu sendiri.

Pengaplikasian ilmu rekayasa hayati memang jarang terlihat keberadaannya secara kasatmata. Namun ternyata, bidang ilmu tersebut membawa banyak manfaat bagi masyarakat.

“Pada Februari 2017, kami menanam bambu sepanjang 300 meter di bantaran Sungai Cijangkelok untuk pembuatan tanggul alami. Bambu kami pilih karena tanaman ini cocok dengan unsur tanah di sini dan dapat menahan erosi air sungai yang meluap,” kata petugas pembuat komitmen (PPK) OP III BBWS Cimanuk Cisangarung, I Gusti Ngurah Antariza.

Selain itu, Antariza juga menjelaskan, metode bioengineering ini dipilih untuk mengembalikan fungsi vegetasi lahan sungai dan secara otomatis dapat merestorasi agar tanggul sungai kembali hijau.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X