Gunung Kawi adalah sebuah nama gunung berapi di Jawa Timur . Tidak ada catatan sejarah terjadinya letusan gunung berapi ini. Tapi Gunung Kawi memiliki popularitas bagi kalangan tertentu, karena konon menjadi tempat mencari pesugihan . . Benarkah ? Sisi lain , gunung yang terletak di sebelah barat Kota Malang ini merupakan obyek wisata yang perlu dikunjungi bila kita berada di Jawa Timur karena keunikannya.
Obyek wisata ini lebih tepat dijuluki sebagai "kota di pegunungan". Di sana kita tidak akan menemukan suasana gunung yang sepi, tapi justru kita akan disuguhi sebuah pemandangan mirip di negeri Tiongkok zaman dulu (bagi yang sudah ke Tiongkok – red ) Di sepanjang jalan kita akan melihat bangunan - bangunan dengan arsitektur khas Tiongkok, terdapat sebuah kuil/klenteng tempat untuk bersembahyang atau melakukan ritual khas Kong Hu Cu.
Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer. Gunung setinggi, sekira 2.000 meter ini tidak indah. Tapi gunung itu menjadi obyek wisata utama masyarakat Tionghoa.
Sebut saja di antaranya makam Mbah Jugo yang setiap hari dikunjungi ratusan orang Tionghoa, termasuk orang pribumi naik ke Gunung Kawi. Masa liburan panjang , daerah ini sangat ramai terkait dengan kepercayaan hari-hari pasaran Jawa , seperti Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro dan Tahun Baru.
Motif para pengunjung yang datang ke tempat pun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan penelitian ilmiah dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul. Awalnya makam Eyang Jugo di Gunung Kawi tidak dikenal sebagai tempat pesugihan sampai datangnya sosok pria dari daratan Cina bernama Tamyang.
Berbagai keterangan yang dihimpun BB mengisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu ekonomi janda yang hidup dalam kemiskinan itu. Tentu saja perempuan itu sangat senang dan berterima kasih dengan bantuan Eyang Jugo. Sesuatu yang sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam membantu sesama.
Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada janda itu , agar anaknya jika sudah besar disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak janda miskin itulah yang bernama Tamyang.
Pada era tahun 40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja dia hanya sebatas melihat makam Eyang Jugo, karena Eyang Jugo sudah wafat beberapa tahun sebelumnya. Tamyang ingin membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya di daratan Cina. Dia merawat makam itu dengan baik.
Pria Cina yang biasa berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini merawat makam Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa dengan gaya arsitektur Cina. Sejak itulah, peziarah semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Orang bijak Tapi anehnya, kedatangan peziarah tersebut bertujuan mencari pesugihan dan bukan belajar bagaimana menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo.
Kemudian menjadi bahan pertanyaan mengenai siapa yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ? Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro.
Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi .
Sejak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro itu, selain berdakwah agama Islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah serta keterampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat.
Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah Kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam, mereka melakukan peringatan.