Di tengah permukiman padat Kota Bogor,terdapat makam maestro seni lukis Indonesia yang karyanya mendunia. Makam sang maestro seakan luput dari perhatian. Kompleks Makam yang terletak di Gang Raden Saleh, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, dikelilingi pemukiman penduduk.
Di tempat tersebut hanya ada petunjuk makam Raden Saleh yang menjadi penanda keberadaan makam. Kompleks makam seluas 900 meter ini dibatasi oleh pagar besi berwarna putih.
Di bagian depan kompleks makam, terdapat dua makam, yakni Makam Raden Saleh dan istrinya, Raden Ayu Danuredjo.Lalu, di depannya terdapat prasasti besar yang terbuat dari tembok dan bertuliskan "Makam Raden Saleh Sjarif Bustaman.
Lahir di Semarang tahun 1813/1816. Wafat di Bogor tgl 23 April 1880. Kompleks makam dibangun kembali oleh pemerintah Republik Indonesia., karena sebelumnya sempat ‘hilang’ selama kurun waktu tertentu, sebelum ditemukan kembali pada tahun 1923 oleh Mas Adoeng Wirjaatmadja yang kemudian merawat tempat itu secara sukarela hingga tahun 1990-an. Isun Sunarya adalah penerus perawat makam sukarela setelah pamannya meninggal, dan baru pada 1999 ia diangkat secara resmi sebagai Juru Pelihara Situs Kompleks Makam Raden Saleh dan mendapat gaji bulanan.
Mengapa Raden Saleh penting untuk kita teladani dan makamnya menjadi cagar budaya. Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari pihak ibunya. Ayahnya , Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab.
Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, tidak jauh dari Kota Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang kepada orang Belanda yang menjadi atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar Raden Saleh , mulai terlihat sewaktu bersekolah di sekolah rakyat(Volks-School).
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia Belanda. Seorang kenalan pamannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J.
Payen yang didatangkan dari Belanda guna membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan (Wikipedia).
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan.
Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda.
Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain.
Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851). Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks.
Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.