nasional

Catatan Akhir Tahun 2021 Serikat Petani Indonesia (SPI): Pemerintah Meminggirkan Petani, Melanggengkan Korporasi Besar

Selasa, 18 Januari 2022 | 10:42 WIB
Catatan Akhir Tahun 2021 Serikat Petani Indonesia (SPI): Pemerintah Meminggirkan Petani, Melanggengkan Korporasi Besar
  1. Produksi dan Teritori

Henry menyampaikan, dalam konteks produksi, tata kelola pupuk bersubsidi menjadi sorotan selama tahun 2021 ini. Amburadulnya pendistribusian pupuk subsidi berakibat pada kelangkaan, sehingga banyak petani tidak mendapatkan pupuk subsidi. Selain itu, akses terhadap program tersebut, juga menjadi masalah yang dikeluhkan oleh para petani pada umumnya. Tidak hanya di pupuk subsidi, pupuk non-subsidi juga mengalami kenaikan harga yang cukup pesat. "Hal ini selaras dengan temuan Ombudsman RI tentang tidak efektifnya tata kelola pupuk bersubsidi di Indonesia," kata Henry.

Henry melanjutkan, dalam konteks teritori, didorongnya proyek food estate merupakan ancaman terhadap penguasaan teritori petani, masyarakat adat, maupun produsen pangan lainnya di perdesaan. Pengadaan tanah skala besar untuk proyek food estate yang relatif tanpa masalah, mengingat statusnya sebagai Proyek Strategis Nasional, berbanding terbalik dengan pelaksanaan Reforma Agraria, untuk memberikan tanah kepada petani kecil. "Hal ini menunjukkan bahwa komitmen dan keberpihakan pemerintah terhadap petani kecil, masih belum utuh," lanjutnya.

  1. Stabilisasi Harga

Henry meneruskan, pandemi Covid-19 memiliki dampak yang besar terhadap perubahan distribusi hasil pertanian milik petani. Saat ini pergeseran ke pasar digital mulai tumbuh, akibat adanya perubahan perilaku konsumen. Perlu dipersiapkan infrastruktur digital yang menjamin kedaulatan petani, tanpa menghilangkan infrastruktur fisik."Oleh karena itu, keberadaan pasar lokal merupakan pilar penting dalam terwujudnya kedaulatan pangan," imbuhnya.

Henry mengingatkan, gejolak harga beberapa bahan pangan terjadi selama tahun 2021. "Rencana impor beras pada Maret 2021; harga jagung untuk pakan ternak di Oktober 2021; kenaikan harga daging ayam pada pertengahan September 2021; anjloknya harga komoditas cabai di awal September 2021; sampai impor gula konsumsi akibat penurunan produksi di setiap tahun," katanya mengingatkan.

"Hal inilah yang kemudian direalisasikan dengan dikeluarkannya, Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Pembentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sendiri merupakan mandat dari UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, tepatnya dalam Pasal 129, yang mengatur tentang pembentukan kelembagaan pangan," lanjutnya.

  1. Nilai Tukar Petani

Henry menerangkan., Nilai Tukar Petani (NTP) selama tahun 2021 belum ideal. Hal ini masih didominasi oleh subsektor tertentu saja, seperti perkebunan (sawit, kopi, dan kakao) yang tumbuh 8,34 persen didorong peningkatan produksi beberapa produk perkebunan seperti kelapa sawit, kopi, kakao dan tebu; "Tanaman hortikultura mengalami kontraksi pertumbuhan 5,23 persen disebabkan penurunan produksi sayuran karena turunnya permintaan domestik maupun luar negeri; Tanaman Pangan mengalami kontraksi pertumbuhan 5,80 persen, disebabkan oleh penurunan produksi tanaman padi dan tanaman palawija lainnya karena berkurangnya luas panen," katanya.

  1. Kelembagaan Petani

Henry menjelaskan, pemerintah belum menjalankan putusan MK Nomor 87/PUU-XI/2013 terhadap Uji Materi UU Perlintan. Putusan ini sejatinya sudah ada sejak tahun 2014 yang lalu, namun belum kunjung direalisasikan. "Dampak dari sikap pemerintah tersebut adalah terjadinya diskriminasi terhadap kelembagaan petani, dalam menikmati akses dan kesempatan yang setara terhadap bantuan dan program dari pemerintah;" keluhnya.

Henry menerangkan, salah satunya adalah kebijakan pupuk subsidi yang mengharuskan petani harus terdaftar sebagai anggota Poktan dan Gapoktan, untuk dapat dimasukkan dalam penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK); Kelembagaan pekebun, dalam PP26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian (PP Turunan UU Cipta Kerja). Kelembagaan pekebun tersebut hanya dibatasi berupa Poktan, Gapoktan, Lembaga Ekonomi Petani dan Koperasi. "Program 2.000 Duta Petani Milenial (DPM), Duta Petani Andalan (DPA) dan Pembentukan ‘Jaringan Pertanian Nasional’ (JPN). Program-program ini tidak mengakui dan memasukkan bentuk-bentuk kelembagaan petani lainnya, di luar dari Poktan dan Gapoktan," imbuhnya.

  1. Alokasi Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Petani

Henry menyarankan, untuk jangka pendek, program bantuan sosial masih memerlukan perbaikan, seperti: minimnya sosialisasi, rumitnya persyaratan dan alur birokrasi, ketidakjelasan informasi yang diberikan dan pemerintah di tingkat daerah membatasi pelaku usaha koperasi yang ingin mengakses program yang diberikan oleh pemerintah pusat; "Dalam Kebijakan jangka panjang, SPI mencatat pemerintah melakukan kekeliruan dengan mengalokasikan anggaran untuk proyek food estate dan ketahanan pangan di Indonesia yang cukup besar, dengan pagu 117 triliun (keseluruhan untuk alokasi PEN2021 untuk program strategis nasional)," tegasnya.

"Pemerintah harusnya fokus untuk memaksimalkan peran dari Bulog ataupun BUMN Pangan, terkait penyediaan bantuan pangan selama pandemi Covid-19. Hal ini menjadi penting mengingat selama tahun 2021, petani dan produsen pangan skala kecil lainnya dihadapkan pada masalah rendahnya harga di tingkat petani dan kebutuhan untuk pangan dan sehat bergizi selama pandemi," sambungnya.

  1. UNFSS – Kendali Korporasi dalam Sistem Pangan

Henry mengingatkan, melalui forum United Nations Food System Summit – UNFSS di Juli 2021 lalu, pemerintah masih menggunakan konsep ketahanan pangan untuk melibatkan korporasi dalam sistem pangan saat ini. Ketahanan pangan yang masih menjadi konsep utama dalam pembahasan di UNFSS dikarenakan UNFSS sendiri merupakan forum yang diselenggarakan dan diarahkan oleh korporasi, bukan petani; "SPI menyayangkan keputusan pemerintah tersebut. Hal ini mengingat konsep ketahanan pangan sudah terbukti gagal dalam mengatasi kelaparan dan kemiskinan global yang terjadi saat ini. Ini dibuktikan dari ‘Krisis Pangan Global tahun 2008’ dan juga kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama Pandemi Covid-19 saat ini, dimana petani selalu termarjinalkan oleh kebijakan-kebijakan di sektor pertanian," terangnya.

  1. COP26 – Solusi Palsu Krisis Iklim

Henry menambahkan, sikap pemerintah di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow November 2021 lalu yang menyepakati mekanisme perdagangan dan pembiayaan karbon, akan memperbesar potensi perampasan ruang hidup petani, masyarakat adat, dan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan; "Hal ini yang dikenal dengan istilah green grabbing, dimana kerap kali upaya-upaya konservasi, penetapan kawasan hutan, mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan," katanya.

"Belum lagi kecenderungan dari pemerintah untuk mendorong adanya penempatan dan peningkatan teknologi pertanian seperti artificial intelligence atau kecerdasan buatan dan model ‘Pertanian Pintar Iklim’ atau Climate Smart Agriculture, yang memperkenalkan benih yang tahan perubahan iklim. Selama hal tersebut masih menggunakan pendekatan industrial, ini akan mengabaikan hak-hak petani dan produsen pangan skala kecil lainnya," sambungnya.

  1. Perjanjian Perdagangan Bebas

Henry menutup, SPI mencatat selama tahun 2021 ini, terdapat 6 perjanjian perdagangan bebas yang tengah dalam proses ratifikasi, sudah diratifikasi bahkan tengah diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia. "Berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut memasukkan sektor pertanian sebagai pembahasan. Konsekuensinya, hal ini akan berdampak langsung bagi kehidupan petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan," tutupnya. (E-018)***

Halaman:

Tags

Terkini