bisnisbandung.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang menghebohkan publik.
Kepala daerah yang terjaring kali ini adalah Bupati Bekasi berinisial ADK, yang diduga terlibat dalam praktik suap dan ijon proyek bersama sejumlah pihak lainnya.
Penangkapan dilakukan pada Kamis, 18 Desember 2025, setelah KPK menerima laporan masyarakat terkait dugaan transaksi mencurigakan yang melibatkan penyelenggara negara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Dari operasi tersebut, total sepuluh orang diamankan dan delapan di antaranya dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan intensif.
Baca Juga: Hari Bela Negara: BUMN Hadir untuk Negeri Lewat Aksi Kemanusiaan di Sumatera
“Kemudian dalam kegiatan tersebut tim mengamankan sejumlah 10 orang, yang kemudian delapan di antaranya dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” terang Asep Guntur Rahayu, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
KPK menjelaskan bahwa setelah resmi menjabat sebagai Bupati Bekasi periode 2024–2029, ADK menjalin komunikasi dengan seorang kontraktor berinisial SRJ.
Kontraktor tersebut dikenal sebagai penyedia berbagai paket pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Bekasi.
Dalam komunikasi yang terjalin sejak akhir 2024 hingga Desember 2025, ADK diduga rutin meminta dana ijon proyek kepada SRJ melalui sejumlah perantara, termasuk ayahnya sendiri, HMK, yang menjabat sebagai Kepala Desa Sukadami, Kecamatan Cikarang Selatan.
Permintaan uang dilakukan bahkan sebelum proyek untuk tahun 2026 dan seterusnya ditetapkan.
Baca Juga: Kondisi di Lapangan Mengkhawatirkan, Anggota DPR Minta Negara Bertindak Lebih Cepat
Dalam kurun waktu satu tahun, total dana ijon yang diberikan SRJ kepada ADK dan HMK mencapai Rp9,5 miliar.
Selain itu, ADK diduga menerima aliran dana lain dari berbagai pihak sepanjang 2025, sehingga total penerimaan yang dicatat KPK mencapai Rp4,7 miliar.
Saat OTT berlangsung, KPK menyita uang tunai senilai Rp200 juta dari rumah pribadi ADK. Dana tersebut merupakan sisa setoran ijon keempat yang diberikan melalui jaringan perantara.
KPK menilai pola tersebut terjadi karena proyek infrastruktur di daerah bersifat berulang, sehingga menjadi celah untuk memainkan skema ijon meskipun pekerjaan belum ada.