bisnisbandung.com - Dinamika politik di Partai Demokrat mencuat setelah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyinggung upaya perebutan kursi ketua umum yang pernah terjadi pada 2021.
Tak lama sebelumnya, kader senior Demokrat di DPR, Benny K. Harman, melontarkan sindiran mengenai keaslian ijazah tanpa menyebut nama.
Dua pernyataan itu memunculkan dugaan bahwa ada rangkaian manuver politik yang terkoordinasi.
Baca Juga: Pengamat Tata Kota Tegaskan Kerusakan Lingkungan Jadi Akar Masalah Banjir Besar di Sumatera dan Aceh
Namun, Guru Besar Komunikasi Politik LSPR Institute, Lely Arrianie, menilai fenomena ini sebagai bagian dari pola politik lama yang terus berulang di lingkungan Demokrat maupun dalam relasinya dengan pemerintah.
Lely menjelaskan bahwa perjalanan politik Demokrat tidak terlepas dari dinamika yang telah berlangsung sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Interaksi antara Demokrat dan pemerintahan Joko Widodo sudah diwarnai pasang-surut sejak awal, termasuk perbedaan sikap mengenai kebijakan energi menjelang berakhirnya masa jabatan SBY.
Pergeseran posisi Demokrat juga terlihat dalam pemilu 2014, ketika partai tersebut berada di kubu pendukung Prabowo Subianto.
Menurutnya, pola perubahan sikap politik itu bukan hal baru karena sejumlah tokoh partai sering kali muncul dalam perdebatan publik dengan posisi yang berbeda-beda sesuai konteks politik saat itu.
Baca Juga: BMKG Ungkap Munculnya Anomali Cuaca Ekstrem di Sumatera dan Aceh Dipicu Kerusakan Lingkungan
Ia melihat bahwa kritik Demokrat terhadap pemerintahan Jokowi pada periode pertama sangat keras, meski isu yang diangkat relatif kecil seperti perbedaan kewenangan antara jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan negara.
Namun, pada periode kedua, ketegangan antara Jokowi dan PDIP memberikan ruang bagi Demokrat untuk mengambil posisi yang lebih lentur. Perubahan sikap itu dinilai sebagai bagian dari strategi politik yang mengikuti momentum.
Terkait pernyataan AHY mengenai isu kudeta dan sindiran soal ijazah, Lely memandangnya sebagai bentuk komunikasi politik yang sarat makna.
“Dalam komunikasi politik itu tidak ada pesan yang hampa makna. Tapi siapa yang mempersepsikan tentang isi pesan? Penerima pesan, bukan pemberi pesan,” ungkapnya dilansir dari youtube Kompas TV.