Di sisi lain, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkritik kepemimpinannya dan menilai 100 hari pertamanya diwarnai kriminalisasi warga serta kerusakan ekologis.
Menanggapi kritik tersebut, Sherly mengakui keberadaan sejumlah warga yang kini terlibat persoalan hukum akibat perselisihan dengan perusahaan tambang.
Ia menjelaskan bahwa proses hukum memang terjadi, namun ia telah intens berkomunikasi dengan aparat penegak hukum untuk memastikan penanganan yang manusiawi dan proporsional.
Dari 11 warga yang sempat ditahan, sebagian besar telah dibebaskan, dan sisanya diperkirakan akan menyusul.
Sherly juga menyoroti akar persoalan konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat adat dan perusahaan tambang.
Baca Juga: Kementerian UMKM Tegaskan Larangan Impor Bekas, Pastikan Pedagang Tetap Berdaya
Ia menilai bahwa ketiadaan legalitas resmi terhadap wilayah adat membuat warga rentan kehilangan hak ketika izin usaha tambang diberikan oleh pemerintah pusat di atas kawasan hutan yang selama ini dikuasai masyarakat.
Sebagai gubernur, langkah yang ia tempuh adalah memfasilitasi mediasi multipihak, melibatkan kepolisian, pemerintah daerah, perusahaan, dan perwakilan warga.
Proses ganti rugi lahan dan tanaman menjadi salah satu mekanisme penyelesaian. Namun, perbedaan nilai dan kurangnya kesepakatan kerap memicu ketegangan di lapangan.
Sherly menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah memastikan pertumbuhan ekonomi dari sektor tambang benar-benar dinikmati oleh masyarakat Maluku Utara.
Ia menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, serta penyelesaian konflik tanah adat sebagai bagian dari transformasi tata kelola pertambangan di wilayahnya.***
Baca Juga: Anda Berencana Bangun Rumah Tahun Depan? Simak Tren Desain Rumah 2026