Sebagai solusi, ia mendorong penerapan model dapur sekolah (school kitchen) yang lebih desentralistik agar rantai distribusi makanan lebih pendek dan pengawasan gizi dapat dilakukan secara langsung.
Gamal juga mengingatkan pentingnya kolaborasi internasional dengan lembaga seperti World Food Programme (WFP) dan Food and Agriculture Organization (FAO).
Melalui kerja sama tersebut, Indonesia dapat memperoleh asistensi teknis dan belajar dari praktik terbaik negara lain dalam pengelolaan program pangan bergizi.
Dalam konteks efektivitas, ia menilai perlunya pendekatan berbasis data dan bukti (evidence-based practice) agar program MBG dapat terus beradaptasi dengan cepat terhadap tantangan di lapangan. Salah satu hal yang disorot adalah ketimpangan rasio ahli gizi dengan jumlah layanan.
Baca Juga: Isu Lama Dihidupkan Lagi! Ade Armando Bongkar Motif di Balik Video Mahfud MD Soal Jokowi
Jika di Jepang satu ahli gizi menangani sekitar 550 siswa, di Indonesia satu ahli gizi harus mengawasi hingga 3.500 layanan, yang berpotensi menurunkan kualitas pengawasan makanan.
Gamal juga menyoroti hasil penelitian bersama yang dilakukan oleh WFI, CISD, dan KPAI terkait persepsi anak terhadap program MBG.
Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar anak pernah menerima makanan yang rusak, basi, atau mentah.
Kondisi ini menandakan bahwa kasus keracunan yang muncul di publik mungkin hanya merupakan puncak dari permasalahan yang lebih besar dalam sistem penyediaan makanan.***