bisnisbandung.com - Fenomena premanisme di Indonesia tak hanya dinilai sebagai persoalan sosial dan hukum, tetapi juga dikaitkan dengan warisan politik masa lalu.
Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa premanisme telah lama ditoleransi, bahkan dimanfaatkan sebagai alat politik, terutama sejak era Orde Baru.
Menurutnya, kondisi ini tidak lepas dari pembiaran sistematis yang dilakukan secara historis, sehingga praktik-praktik premanisme terus berkembang hingga kini.
Baca Juga: Ini Dia Rekomendasi Parfum Lokal Wanita Dengan SPL Terbaik
“Ada toleransi pada masa lalu, terutama pada zaman Orde Baru. Toleransi itu, bahkan premanisme itu, menjadi alat politik,” ujarnya dilansir Bisnis Bandung dari youtube Metro TV, Selasa (13/5).
Bahkan dalam beberapa kasus, premanisme masih menunjukkan keterkaitan dengan kekuatan politik, membuat para pelakunya berani melakukan intimidasi dan tekanan kepada masyarakat maupun pemerintah daerah.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebenarnya telah mengatur batasan dan sanksi terhadap penyalahgunaan ormas.
Baca Juga: Kak Seto Sebut Gubernur Dedi Mulyadi Sebagai ‘Sahabat Anak’ Berkat Program Pendidikan Inovatif
Namun, implementasi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak ormas yang bertindak di luar jalur hukum, seperti melakukan pemerasan, melindungi aktivitas ilegal, atau menjadi pelindung pedagang liar.
“Hanya saja ketika di lapangan, ketika praktiknya kemudian menjadi ormas di bawah, nah, itu akhirnya tadi jadi pelindung pedagang yang dagangnya di tempat-tempat yang dilarang, sebenarnya,” terangnya.
Fickar juga menyoroti istilah "jatah preman" yang masih melekat dalam praktik ekonomi nasional.
Baca Juga: Prihatin dengan Perkembangan Dunia, SBY Sebut Perang Dagang Mengancam Kehidupan Bangsa
Banyak pelaku usaha yang diduga telah secara rutin menganggarkan biaya untuk mengakomodasi tekanan dari kelompok preman, menunjukkan lemahnya konsistensi penegakan hukum terhadap fenomena ini.
Lebih dari sekadar menindak secara hukum, ia menekankan pentingnya pendekatan struktural yang menyentuh akar persoalan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan akses terhadap lapangan kerja.