Menurutnya di bawah pemerintahan Jokowi demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dari "third wave" menjadi "second wave" seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika.
Hal ini katanya membuat Indonesia cenderung menuju otoritarianisme atas nama demokrasi.
"Ketika demokrasi mundur maka potensi konflik politik berdarah bisa terjadi seperti di Suriah atau negara-negara lain yang mengalami gelombang kedua demokrasi," paparnya.
Islah menilai Jokowi berhasil memanfaatkan populisme sebagai alat hipnosis politik.
Baca Juga: Connie Bakrie Bisa Dituntut, Ade Armando Meyakini Hasto Kristiyanto Bersalah di Kasus Harun Masiku
"Populisme yang dibangun Jokowi selama periode pertama berubah menjadi otoritarianisme di periode selanjutnya. Ini yang disebut 'authoritarian populism'," ungkapnya.
Ia juga mengkritik penggunaan lembaga penegak hukum seperti KPK sebagai alat politik.
"KPK hari ini lebih banyak digunakan untuk memberangus musuh politik daripada memberantas korupsi," ujarnya.
Islah Bahrawi menyarankan agar Indonesia kembali ke prinsip dasar demokrasi dan hukum.
Baca Juga: Upaya Pengalihan Isu Jokowi Finalis Pemimpin Paling Korup, Terjadi Pengeledahan Rumah Hasto
"Kita harus mengembalikan demokrasi ke jalurnya. Penegak hukum harus menjadi pelayan rakyat bukan alat penguasa," tegasnya.
Ia juga berharap kepemimpinan di masa depan termasuk Prabowo Subianto mampu membawa perubahan yang lebih baik.
"Prabowo harus berani mengambil langkah tegas untuk mengembalikan kepercayaan investor dan memperbaiki sistem hukum," tutupnya.***