RUU HIP Mereduksi Nilai Pancasila Gus Yaqut  :  Upaya Terselubung Eks PKI Balas Dendam Sejarah

photo author
- Jumat, 19 Juni 2020 | 12:45 WIB
Gus Yaqut
Gus Yaqut

BISNIS BANDUNG - PP Muhammadiyah menegaskan , RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta agar DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sebab muatan RUU tersebut dinilai bertentangan dan makin mereduksi nilai-nilai Pancasila.

“PP Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/6/2020). Menurut Muhammadiyah, Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang. Sebab hal itu berpotensi menyimpang dari maksud dan pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara. Termasuk dengan memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945. Hal itu dinilai Muhammadiyah sama dengan "mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945. Selain itu, akan jadi kontroversi karena mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1955 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan. Kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan historis.

“Di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal 5, 6, dan 7),"ungkap Haedar seraya menyebut terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang lainnya. Termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif dinilai bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Kemudian tidak dicantumkannnya TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP, juga dinilai jadi masalah serius. Sebab dari situ mengatur tentang pelarangan komunisme. “Padahal dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang menimbang secara jelas dinyatakan bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila'," kata Haedar. Oleh sebab itu, Muhammadiyah meminta agar pembahasan RUU tersebut dihentikan. Semua perangkat negara dari mulai eksekutif, legislatif, hingga yudikatif diminta agar lebih fokus menangani Covid-19 yang kini berdampak serius bagi kehidupan masyarakat. "Muhammadiyah mendesak DPR untuk lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP dengan tidak memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU HIP untuk kepentingan kelompok tertentu," kata Haedar menegaskan. Muhammadiyah juga mengingatkan agar kesalahan sejarah kekuasaan di masa lalu tak terulang. Ketika perumusan perundang-undangan atau kebijakan penerapan ideologi Pancasila disalahgunakan dan dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik oleh penguasa.

Meminta DPR mengevaluasi

Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta DPR untuk mengevaluasi kembali rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).  Yaqut Cholil Qoumas menilai, draf RUU HIP yang dibuat oleh Badan Legislasi DPR tersebut masih memerlukan banyak pendalaman, dialog, dan masukan dari berbagai kalangan. RUU ini, lanjut Yaqut, juga menyangkut segala sendi kehidupan rakyat Indonesia, mulai dari politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan. “Di tengah persoalan besar dan mendesak bangsa ini, yakni penanganan pandemi Covid-19, penundaan pembahasan RUU HIP adalah pilihan tepat. Menurutnya, dari penelusurun GP Ansor ada beberapa catatan penting bagi DPR sebelum RUU HIP ini dibahas. Pertama, RUU ini belum mencantumkan secara jelas Ketetapan (Tap) MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI Bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Kedua, konsideran RUU HIP tidak menyertakan Perppu No 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menjadi landasan hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan atau ideologi transnasional. Ketiga, secara umum batang tubuh RUU HIP justru berupaya menyekulerisasikan Pancasila. Padahal, inti dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas dasar ini maka kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, bisa ditegakkan, bukan sebaliknya bahkan dicantumkan agama, rohani dan budaya dalam satu baris. “Hal ini mencerminkan pandangan sekularisme yang berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar Yaqut Cholil Qoumas. Keempat, melihat masih banyak hal yang mencuatkan perdebatan . “Apalagi RUU ini berhubungan dengan Haluan Ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa yang diberlakukan semua rakyat, bukan hanya mengakomodasi kepentingan golongan tertentu,” ungkap Yaqut. Gus Yaqut  mengungkapkan, sebagaimana catatan GP Ansor,  yang memunculkan kesan di tengah masyarakat bahwa RUU HIP ini adalah upaya terselubung eks PKI dan kelompoknya untuk balas dendam sejarah yang menimpa mereka. (B-003) ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X