Bisnis Bandung,(BB) -- Pengamat Perdagangan Internasional/Dosen Perdagangan Internasional Universitas Widyatama, Dwi Fauziansyah Moenardy S.IP,. M.I.Pol mengemukakan, sejak 1 januari pemerintah telah menerapkan kebijakan larangan ekspor batu bara. Larangan ini dikeluarkan karena rendahnya tingkat pasokan batu bara untuk pembangkit listrik domestic. Kebijakan ini perlu kita cermati dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut.
Larangan ekspor merupakan kebijakan dengan berbagai tujuan. Antara lain seperti mengembangkan industri agar dapat membuka kesempatan kerja baru, memberantas penyelundupan, dan menghindari kelangkaan barang. Pada dasarnya tujuan kebijakan perdagangan internasional adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang tidak dapat terpenuhi karena adanya keterbatasan-keterbatasan tertentu dan juga mendapat keuntungan dari aktivitas tersebut. Hal ini tentunya akan memberikan banyak manfaat untuk penduduk suatu negara.Sehingga perlu dicermati dari larangan ekspor ini yang bisa juga disebut sebagai hambatan dalam perdagangan internasional karena berdampak pada rantai pasok bagi negara-negara yang mengimport batu bara dari Indonesia.
Dwi Fauziansyah Moenardy S.IP,. M.I.Pol mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan Indonesia juga berdampak pada Harga batu bara global yang kian memanas mencapai level US$196,5 per metrik ton di tengah kebijakan Indonesia melarang ekspor komoditas tersebut sejak 1 Januari lalu. Hal ini karena pasokan batubara ke pasar global menjadi makin ketat. Sebab, Indonesia memegang kontribusi terhadap sekitar 45% seaborne coal dunia, katanya kepada Bisnis Bandung (BB), di Bandung
Langkah dari kebijakan larangan ekspor batu bara saat ini menjadi pilihan yang tepat untuk menjaga roda ekonomi nasional hal ini dapat dilihat dari menipisnya pasokan dalam negeri. Informasi dari kementerian ESDM menyebutkan menipisnya stok batu bara ini berdampak pada sekitar 20 PLTU dengan kapasitas daya 10.000 MW. Angka ini setara dengan potensi gangguan bagi 10 juta lebih pelanggan PLN. kebijakan tersebut demi menjaga pasokan batu bara untuk PLN tetap tersedia, karena Indonesia terancam menghadapi krisis listrik akibat defisit pasokan batu bara di pembangkit PLN. Ketersediaan batu bara diperkirakan di bawah batas aman untuk mencukupi kebutuhan selama 15 hari.
Salah satu alasan Ekspor dilakukan oleh sebuah negara karena memiliki tingkat produksi yang tinggi dan telah mampu memenuhi kebutuhan domestic negara tersebut. Dalam hal produksi batu bara Indonesia menjadi salah satu negara yang memegang kontribusi terbanyak seaborne coal dunia. Langkah untuk menjaga kebutuhan batubara domestic adalah dengan menerapkan DMO (Domestic Market Obligation). DMO adalah kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk menyerahkan sebagian minyak dan gas bumi dari bagiannya kepada negara melalui Badan Pelaksana dalam rangka penyediaan minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang besarnya diatur didalam Kontrak Kerja Sama.
Masalah pasokan batubara PLN disebabkan karena perusahaan-perusahaan batubara tidak taat memenuhi ketentuan wajib pasok dalam negeri atau DMO. sejak pertengahan 2021 terdapat 34 perusahaan yang tidak patuh terhadap DMO. Data dari Kementerian ESDM, terdapat ratusan perusahaan yang memiliki tingkat kepatuhan sangat rendah dalam memenuhi DMO target pemerintah tahun 2021 sebesar 137,5 juta ton, realisasi yang tercapai hanya sebesar 63,47 juta ton atau sekitar 46 persen, terendah sejak 2017. Hingga akhir 2021, hanya terdapat 85 perusahaan yang telah memenuhi DMO batubara sebesar 25 persen dari rencana produksi tahun 2021. Dari 5,1 juta metrik ton penugasan pemerintah, hingga 1 Januari 2022, haya terpenuhi 35 ribu metrik ton, atau kurang dari 1 persen. Hal ini lah yang menyebabkan pasokan dalam negeri menipis sehingga tujuan dari larangan ekspor ini untuk mengatasi kelangkaan barang dalam negeri, pungkasnya kepada BB. (E-018)****