IPO BUMN Panas Bumi Meningkatkan Efisiensi Dan Kinerja Perusahaan

photo author
- Selasa, 21 Desember 2021 | 17:32 WIB
IPO BUMN Panas Bumi Meningkatkan Efisiensi Dan Kinerja Perusahaan
IPO BUMN Panas Bumi Meningkatkan Efisiensi Dan Kinerja Perusahaan

Bisnis Bandung, (BB) --- Pengamat Perdagangan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Yayan Satyakti menegaskan, berdasarkan RUPTL PLN sampai dengan 2030 dibutuhkan tambahan kapasitas terpasang untuk Panas Bumi sebesar 3.355 MW dengan total kebutuhan jika menggunakan satuan investasi IRENA 2020 untuk Geotherhmal. Biaya Investasi Panas Bumi per KW USD 4.468 sehingga kita memerlukan investasi sebesar USD 14 Milyar Dollar atau sekitar Rp217 Trilyun. Jika dibagi sampai 2030 jumlah pengembangan PLTP untuk PGE sebesar 440 MW dengan estimasi total biaya US$ 1.9 Milyar dan PT. PLN GAS dan Geothermal dengan estimate sebesar US$ 1.34 M dengan total tambahan kapasitas sebesar 740 MW untuk dua perusahaan itu yaitu PGE dan PT. PLN Gas dan Geotermal.
Artinya kedua BUMN tersebut setidaknya dapat mengembangkan PLTP sebanyak 22.06% dari total 3.355 MW. Jadi dapat dikatakan bahwa BUMN memberikan peningkatan kapasitas yang relatif besar terhadap pemenuhan kebutuhan PLTP. Hal ini sangat membantu untuk meningkatan bauran energi terbarukan pada bauran energi total. Ini sangat baik, karena dengan meningkatkan supply kita melihat dalam jangka panjang, infrastruktur energi Indonesia menjadi lebih terdiversifikasi dan baik untuk mengurangi ketergantungan fossil fuel yang harganya semakin tidak menentu secara global, paparnya kepada Bisnis Bandung (BB),  di Bandung.
Yayan Satyakti menjelaskan, apakah holding BUMN Panas Bumi ini penting? Sebelum  mengarah ke Initial Public Offering (IPO) atau menawarkan saham perdana ke publik, kita lihat alasan mengapa perusahaan melakukan IPO, setidaknya ada tiga teori utama seperti timing theory dengan (a) rational market pricing – perusahaan akan melakukan IPO jika memenuhi aspek rasional bahwa IPO dilakukan karena memang memerlukan equity dan pembiayaan untuk investasi, timing theory dengan (b) non rational market pricing bahwa IPO dilakukan oleh perusahaan karena memang mengambil keuntungan jendela kesempatan (windows of opportunity) bahwa dengan IPO akan meningkatkan benefit karena adanya overpricing dari harga saham yang biasanya di uji hipotesisinya dengan underpricing, dan (c) berdasarkan data histories jangka panjang terhadap saham yang IPO sebelumya pada sektor yang sama.
Untuk menjawab pertanyaan apakan IPO perlu bagi Holding BUMN Panas Bumi, maka digunakan teori yang lebih rasional yaitu timing theory of rational market pricing yang lebih konservatif dan berdasarkan pada pendekatan yang rasional seperti kondisi efisiensi pasar saham kita dan asumsi informasi yang simetris (symmetric information). Jika perusahaan ingin melakukan IPO disebabkan perusahaan memiliki kesulitan investasi karena return asset yang rendah sedangkan cost of debt dari perusahaan relatif besar dalam pembiayaan. Sehingga perlu adanya potensi asset baru untuk memperoleh pembiayaan baru dalam meningkatknya skala ekonomis selain adanya transfer teknologi antar perusahaan untuk hal-hal efisiensi dan daya jangkau pasar.
Jika diihat dari posis PGE (Laporan Keuangan PT. Pertamina 2020 Audited) komposisi Utang Jangka Panjang PGE relatif besar yaitu harus membayar pinjaman jangka panjang untuk PLTP Ulubelu dan Lahendong dan PLTP Lumut Balai yang telah jatuh tempo pada tahun 2021 untuk dibayar sampai 2051 tentang pembayaran cicilan baik pokok dan bunga hampir US$ 12 juta, akan tetapi hal ini bisa ditutupi oleh PGE dengan pendapatan yang diperoleh dari pendapatan operasional yang lebih besar di beragam scenario kapasitas pembangkit dari 30 – 50% dengan beragam harga dari 50% terhadap harga regulasi baru LCOE US$ 0.145 atau 14.5 sen dollar / kwH.
Jadi potensi PGE relatif lebih stabil dalam hal pengelolaan operasi PLTP dan prospek aliran kas walaupun diharapkan harga LCOE jangan sampai kurang dari 7 sen per kWh karena dengan harga tersebut tidak akan mengalami keekonomiannya. Sedangkan bagi PT. PLN Gas dan Geotermal dengan lokasi WKP yang sedang dalam tahapan eksplorasi dan kondisi keuangan yang membaik baik ROA maupun ROE sejak tahun 2019 hingga tahun 2020 karena adanya penambahan asset PLTP.  "Akan tetapi ada catatan bahwa penambahan asset ini dibiayai dari utang dimana komposisi Debt To Total Assets sebesar 67.05% dan Equity to Total Assets sebesar 2.84%, hal ini relatif sangat sensitive terhadap pembentukan WACC di masa depan karena Cost of Debt yang relatif besar. Jika melihat pada hal ini memang dengan kinerja keuangan seperti itu, secara rasional dua BUMN akan lebih baik holding dibandingkan dengan tanpa holding karena akan menurunkan kapasitas investasi, asset, transfer teknologi dengan baik. Terutama PT. PLN yang perlu memperoleh transfer teknologi dari PT. PGE yang mengelola lapangan-lapangan yang lebih besar. Sampai saat ini PT. PLN Gas dan Geotermal baru mengelola PLTP di Mataloko dan Lumbu dengan total 12.5 MW. Sedangkan target dari PLTP masih dalam eksplorasi yaitu sebesar 300 MW dengan kebutuhan investasi sebanyak US$ 1.3 milyar. "Alangkah baiknya jika perlu ada satu perusahaan yang dapat meningkatkan kapasitas asset dan transfer teknologi yang lebih baik; selain hal tersebut jika kita gunakan Teknik analisis pseudo market timing untuk melihat apakah jika IPO akan berhasil atau tidak selama masa pandemic ini, maka kita analogikan dengan peluang perusahaan yang bergerak di Geotermal di Indonesia yaitu MEDCO Power dan PT. Barito Pacific yaitu Star Energy Geothermal"
Jika diihat dengan menggunakan pola historise persentase perubahan antara pasar dengan imbal hasil pada MEDCO Powet dan PT. Barito Pacific tampaknya selama pandemic mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini disebabkan selama pandemic  kebutuhan listrik lebih banyak karena WFH dan Phsyical Distancing meningkatkan harga perusahaan tersebut untuk memperoleh gain investasi yang besar. Artinya momentum pada saat ini relatif pas jika BUMN Holding akan melakukan IPO, akan tetapi jika kita pola grafik imbal hasil sesudah IPO pada tahun 2012 untuk kedua perusahaan sensitivitasnya jadi menurun setelah 2-4 tahun yang akan datang, tetapi akan kembali lagi (rebound) sejalan dengan konsumsi energi di Indonesia.
Jika melhat pada proses IPO memang saat ini relatif tepat untuk meluncurkan IPO karena akan meningkatkan portofolio investasi untuk BUMN Holding jadi jika mau IPO harus dilakukan secepatnya agar tidak kehilangan momentum. Akan tetapi jika sedikit lebih lama sampai tahun depan, momentum IPO akan sedikit kehilangan momentum, karena sektor-sektor real lain akan lebih menarik investor terutama untuk investasi infrastruktur lainnya yang berhubungan dengan pasca pandemic.
Jika melihat pada holding BUMN hal ini menjadi hal yang krusial melihat beban dan target dari pemerintah untuk menjalankan komposisi EBT yang lebih ambisius. IPO diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan menjadi lebih baik professional dan teknologi yang kompetitif bagi perkembangan EBT di masa depan, pungkasnya kepada BB. (E-018)***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X