Hendri: Pemimpin Suka Marah-marah Tak Cocok Dengan Kultur Masyarakat Indonesia

photo author
- Jumat, 8 Oktober 2021 | 11:29 WIB
Hendri Satrio
Hendri Satrio

BISNIS BANDUNG - Pengamat Politik Hendri Satrio menilai cara kepemimpinan Risma tak cocok dengan kultur masyarakat Indonesia. Tujuh presiden yang sudah memimpin Indonesia , tak ada satu pun yang mempopulerkan gaya kepemimpinan yang emosional. Kultur masyarakat Indonesia  mengharuskan pemimpin mencontohkan cara kerja yang baik dan merangkul bawahannya agar bisa mencapai tujuan bersama. Drama dari Menteri Sosial Tri Rismaharini dipandang bukan solusi bagi masalah rumit di kementeriannya, terutama soal bantuan sosial (bansos), sekaligus tak mengerek elektabilitas meski menaikkan popularitasnya. Banyak rekam jejak drama Risma sebelumnya yang didominasi oleh aksi marah-marah. "Kalau dicek apakah gaya marah-marah itu sesuai dengan kultur bangsa Indonesia, dari tujuh presiden yang kita punya enggak ada yang punya gaya seperti itu. Ya artinya bisa didefinisikan sendiri," ujar  Hendri. Seluruh Presiden di Indonesia memiliki karakter yang cenderung kalem. Presiden pertama RI Sukarno saja hanya meledak-ledak saat berorasi namun tetap terarah. Ditegaskan Hendri, gaya kepimpinan yang masih tren di Indonesia adalah gaya walk the talk.  Gaya kepemimpinan yang dianggap cocok dengan kultur masyarakat Indonesia ini mengharuskan pemimpin mencontohkan cara kerja yang baik dan merangkul bawahannya agar bisa mencapai tujuan bersama.  "Sementara gaya kepemimpinan Risma enggak seperti itu," ucap Hendri. "Jadi ya kalau muncul persepsi Risma ini seperti main drama, iya kita bisa mundur ke belakang, mungkin masih ingat ketika dia tiba-tiba sujud di kaki dokter, menurut saya ini yang berlebihan gayanya seperti di drama," ungkap Hendri . Wajar jika seorang pemimpin memarahi bawahannya ketika melakukan pekerjaan yang keliru. Namun, itu tak semestinya dipertontonkan di hadapan umum. Asumsi publik soal drama Risma ini bisa merugikan Risma dan juga jajaran Kementerian Sosial. Untuk menghindari hal itu, Hendri menyarankan tim hubungan masyarakat (humas) Kemensos untuk memberikan penjelasan dan duduk perkara segera setelah insiden marah-marah sang menteri, bukan malah menyembunyikannya dari media massa. "Ada kelemahan di bagian tim komunikasi bu Risma di Kemensos, seharusnya langsung memberikan klarifikasi supaya publik tahu duduk masalahnya, supaya tidak berasumsi macam-macam," kata Hendri. "Dalam komunikasi politik yang dilakukan Risma ini , kan mencari dukungan dan simpati. Ada dua kemungkinan, orang bisa simpati, bisa juga antipati," ujar Hendri Hendri juga mengingatkan dua tugas besar Risma di Kemensos belum memperlihatkan hasil. Yakni, memperbaiki citra Kemensos dan PDIP usai eks menteri yang juga kader Banteng Juliari Batubara terjerat kasus korupsi bansos. "Sebelumnya [PDIP] ngaku wong cilik, terus kemudian korupsi juga. Sekarang kelihatan enggak hasil kerja Risma-nya? Menurut saya sih belum," ucap Hendri. Tugas Risma di Kemensos juga dinilai belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Misalnya, pembenahan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin menyebut perbaikan DTKS tidak selesai dengan marah-marah di setiap daerah. Menurutnya, perlu koordinasi kuat antara pemerintah pusat dan pemda untuk sinkronisasi data. Ujang Komarudin  menilai marah-marah Risma bukan solusi. Karut-marut soal PKH (Program Keluarga Harapan, dan permasalahan data itu tak mungkin bisa beres dengan marah-marah. Justru itu tanda ketidakmampuan bekerja dengan baik," tutur Ujang kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/10/21) yang dikutip Bisnis Bandung.com. Ujang menilai tak etis seorang pemimpin memarahi pegawai di depan orang banyak dan tidak menunjukan sikap pemimpin yang mengayomi pegawainya. "Itu mungkin gayanya Risma yang sesungguhnya tak bagus dan tak etis. Karena apa yang dilakukan Risma itu sudah terlewat batas dan menunjuk-nunjuk seseorang,  itu bisa berarti merendahkan orang di depan umum," tutur Ujang. Ada gap antara daerah dan pusat saat Risma hampir satu tahun menduduki kursi Mensos.

 Sedangkan pakar Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Suko Widodo  menyebutkan adanya potensi penolakan dari warga terhadap sosok yang gemar marah-marah. (B-003) ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X