Minggu lalu timbul heboh di masyarakat karena hilangnya tiga patung di Markas Kostrad. Patung Jenderal Suharto, Jenderal AH Nasution, dan Jenderal Sarwo Edy raib dari tempat itu. Padahal, ketiga tokoh yang dipatungkan itu berada di garda depan ketika melakukan pengganyangan G30S/PKI.
Dikutip dari tulisan politisi senior , sejarawan dan budayawan Betawi , Ridwan Saidi, pihak yang mengusulkan pemindahan patung-patung itu menyebutkan bvahwa, patung adalah berhala, mesti dipindahkan.
Melihat itu, ingatan berputar pada catatan sejarah yang terjadi pada tahun 1453 kala Constantinopel (Istambul Jatuh) jatuh. Turki Ottoman bangkit. Mereka kemudian menguasai wilayah sangat luas , yakni di Asia Barat, termasuk kawasan yang punya masa lalu gemilang dengan kerajaan-kerajaan besar seperti Babylon.
Tetapi, Ottoman Turki ketika itu tak pernah pindahkan patung-patung Babylon yang ada di Irak, Suriah, Lebanon. Penguasa Irak tidak pernah memindahkan patung ulama sufi jenaka Abu Nawas yang berada di tepi Sungai Eufrat. Alhasil, pemindahan patung tiga jenderal, apa pun motifnya dan alasannya, pasti menimbulkan masalah sensitif.
Memang, akhir-akhir ini alarm dan "garpu tala" sensitivitas mayoritas bangsa Indonesia bergoyang terus. Bahkan banyak menimbulkan catatan kaki yang unik. Ini karena embusan suaranya bernada pembelaan kepada PKI bahwa partai komunis itu tak terlibat pengkhianatan Gestapu PKI. Bahkan ada juga yang mempersoalkan pemutaran filmnya. Jadi, ini sebenarnya indikasi adanya reinkarnasi.Tadi malam saya bersama masyarakat kelurahan di Sawangan nonton bareng film G30S/PKI. Saya mengantarkan pemutaran film karya Arifien C Noer itu dengan ceramah. Hadirin seratusan duduk dengan semangat keingintahuan.
Suara-suara pembelaan terhadap PKI didorong motif genealogis dan/atau ideologis. Tapi ingat, saya baca di koran terompet PKI Harian Rakjat pada edisi 2 Oktober 1965 yang jelas menjadi fakta yang mematikan. Koran itu menyiarkan dengan lengkap susunan Dewan Revolusi yang dibentuk PKI untuk ambil alih kekuasaan negara.
Betapa pun Suharto, AH Nasution, dan Sarwo Edi punya segala kelemahan dan kelebihan, sosok mereka adalah pahlawan yang selamatkan Indonesia dari teror komunis. Justru PKI dan komunis teroris sejati!
Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi isu yang masih banyak dibahas hingga kini. Kelompok yang memiliki sejarah kelam atas tindakannya, terlebih kepada Umat Islam di masa lampau.
Ketua MUI Bidang Pengkajian dan Penelitian MUI, Prof Utang Ranuwijaya, mengatakan, kebangkitan PKI bukanlah masalah utama yang harus dikhawatirkan. Kelompok ini secara resmi telah bubar dan dilarang secara resmi di Indonesia.
"Yang harus dikhawatirkan adalah komunisme sebagai pahamnya. Hal ini karena isme-nya itu, nggak akan lekang di telan zaman. Nggak akan hilang meskipun naik turunnya tentu tergantung situasi, tapi paham itu nggak akan hilang. Yang penting bagi umat Islam itu mewaspadai dan berhati hati," ungkap jelas Prof Utang, Kamis (30/9/21).
Dikemukan Prof Utang , setiap elemen masyarakat hingga pemerintah harus berperan untuk mengantisipasi paham ini menyebar di tengah masyarakat.
"Kalau paham komunisnya sudah meresap kepada anak cucu dan kemudian pelan-pelan menggurita itu kan juga sangat berbahaya kalau dibiarkan," ujarnya. Dijelaskan Prof Utang, ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar paham komunis tidak beredar kembali di Indonesia. Seperti menayangkan kembali film tentang G30S PKI atau metode lain yang bisa mengedukasi masyarakat tentang bahaya komunisme. Generasi muda juga disebutnya harus diberi pengertian bahwa komunisme tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia, dalam pandangan agama, UUD 1945 atau Pancasila, komunisme tidak sejalan dengan dengan semua falsafah tersebut.
Umat Islam juga diimbau untuk memperbanyak wawasan keagamaan untuk mempertebal keimanan dan akidahnya. Mengoptimalkan lembaga zakat, infak, sedekah, wakaf hingga dana abadi umat (DAU) juga disebutnya penting untuk kesejahteraan, agar umat tidak terpikir akan paham lain.
"Kalau umat sejahtera, insya Allah akal pikirannya akan fokus menghadapi kehidupan ini karena lebih sehat memahami, tidak panik. Sehingga paham yang tidak benar dari luar atau kondisi yang mengancam dari luar bisa diatasi bersama dengan persatuan dan kekuatan bersama,"