Choirul : TWK KPK Bernuasa Koruptif 30 September Timbulkan Imajinasi Sejarah Kelam Bangsa

photo author
- Rabu, 22 September 2021 | 13:11 WIB
Choirul : TWK KPK Bernuasa Koruptif 30 September Timbulkan Imajinasi Sejarah Kelam Bangsa
Choirul : TWK KPK Bernuasa Koruptif 30 September Timbulkan Imajinasi Sejarah Kelam Bangsa

BISNIS BANDUNG - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyebut,  penyelenggaraan asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK)  dinilai bernuansa koruptif. Asesmen TWK dilaksanakan tanpa ada dasar hukum dan menggunakan keuangan negara.

Dijelaskan Choirul Anam , definisi korupsi adalah penyelenggaraan kegiatan dengan menggunakan keuangan negara, tapi tidak sesuai dengan undang-undang,  dinilai serupa dengan pelaksanaan asesmen TWK KPK.

“Kalau definisi korupsi kita letakan di situ, penyelenggaraan TWK kemarin itu jelas tidak ada dasar hukumnya, khususnya soal hubungan KPK dan BKN, dalam konteks penggunaan keuangan negara, kalau definisi korupsinya ditaruh di situ, itu bisa koruptif,” ujar Anam dalam diskusi daring, Minggu (19/9/21).

Anam mengaku  heran dengan langkah Ketua KPK  Firli Bahuri yang begitu ngotot untuk memecat 57 pegawai KPK  pada 30 September 2021. Pemilihan tanggal itu dapat menimbulkan imajinasi masyarakat terjadap sejarah kelam bangsa Indonesia.  30 September yang disingkati G30S PKI , sebuah Gerakan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965.

“Imajinasi soal masa lalu Republik Indonesia,  ada stigma pada tahun 1965 soal PKI/ komunisme. Apakah memang pemilihan tanggal 30 September itu mengintrodusir satu stigma berikutnya, kalau ini memang mengintrodusir satu stigma berikutnya betapa bahayanya negara ini,” ungkap Anam. Pemunculan stigma tersebut  berbahaya bagi bangsa Indonesia . Terlebih kasus pelanggaran HAM banyak terjadi pada 30 September. Setiap tahun, tanggal 30 September menjadi peringatan penting atas kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965. Penculikan dan pembantaian terhadap sejumlah jenderal dan perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikenal dengan peristiwa G30S/PKI.

Lantas apa hubunganya dengan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu tak ada hubungannya sama sekali. Tanggal 30 September dipilih oleh KPK untuk menjadi hari terakhir bagi 57 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk bekerja. Sebelumnya, batas waktu tersebut adalah 1 November.

Itulah kenapa, Giri Suprapdiono, pegawai KPK yang menjadi korban pemecatan, mensinyalir tanggal tersebut sengaja dipilih untuk membentuk persepsi negatif. Hal ini dinilai sangat kejam, sebab pemecatan ini bersamaan dengan hari pemberontakan yang dilakukan PKI 56 tahun silam.

Presiden cuci tangan ?

Padahal faktanya, selama belasan tahun mengabdi di KPK, para pegawai yang tak lolos TWK konsisten dalam berjuang memberantas korupsi. Membersihkan negara dari praktik culas yang dilakukan para garong pencuri duit rakyat,  mewakafkan hidupnya untuk merah putih karena resiko tugasnya tidak main-main. Ada yang diancam dibunuh,  ditabrak , hingga  yang seperti Novel Baswedan, buta satu matanya akibat disiram air keras. Kendati demikian, mereka tidak mengeluh dan mundur. Walau berhadapan dengan maut dalam menjalankan tugasnya. Dibidang prestasi, ada pegawai yang merupakan lulusan terbaik pelatihan kepemimpinan nasional II angkatan XVII di LAN dan mengajar wawasan kebangsaan di Lemhanas, Sesko-AS, Kemhan, Sespim Polri, para pejabat eselon 1 dan para kepala daerah hingga menteri. Ada pula pegawai yang menerima penghargaan Satyalencana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo pada 2015. Jadi, kurang nasionalis apa mereka?  Pertanyaannya, bagaimana jika dibandingkan dengan para pimpinan KPK.  Firli Bahuri yang terbukti pernah beberapa kali melanggar etik,  kemudian Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terbukti berhubungan dengan pihak perkara, hanya dijatuhi hukuman dengan pemotongan gaji yang nilainya tak seberapa.  Menanggapi pemecatan itu, di hadapan sejumlah pimpinan media, Presiden Jokowi justru memberikan kesan cuci tangan. Jokowi meminta agar semua urusan tidak dibebankan kepada dirinya, termasuk pemecatan pegawai KPK. Padahal, dalam berbagai kesempatan dia kerap ikut campur pekerjaan remeh temeh. Seperti bagi-bagi sembako yang menimbulkan kerumunan di tengah pandemi. Bagi-bagi sertifikat kepada warga. Segala sesuatu yang tidak harus dilakukan langsung oleh presiden. (B-003) ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X