BISNIS BANDUNG - Wacana masa jabatan presiden 3 periode saat ini kembali bergulir. Menurut pakar Politik Pemerintahan UGM, Dr. Abdul Gaffar Karim, masa jabatan presiden 3 periode merupakan bentuk pelanggaran terhadap pembatasan kekuasaan. Dikemukakan Abdul Gaffar , apabila masa jabatan persiden 3 periode benar-benar diwujudkan, akan menimbulkan persoalan baru. Ada risiko besar yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Sebab, semakin lama suatu kekuasaan maka kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya menjadi lebih kuat. Dengan begitu, menjadikan kekuasan menjadi lebih absolut.
“Kalau sampai 3 kali, seorang penguasa mampu mengumpulkan resources di tangannya sehingga terlalu berkuasa secara politik, ekonomi, dan sosial,” ungkapnya.
Kondisi ini menjadi pantangan yang dihindari. Mencegah adanya orang atau kekuatan politik yang di tangannya dengan sumber daya yang berlebihan. “Yang dikhawatirkan dari tiga periode ini bisa munculkan orang dengan resources yang menumpuk,” ujar Abdul Daffar. Selain melanggar pembatasan kekuasaan, masa jabatan presiden 3 periode akan menciptakan kompetisi yang tidak adil. Pasalnya, terdapat satu kekuatan yang terlalu kuat. “Hal pertama yang dilanggar adalah pembatasan kekuasaan,” ungkap Abdul Gaffar beberapa waktu.
Dikemukakan Abdul Gaffar, dalam dunia demokrasi moderen telah disepakati jika penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali . Adanya pembatasan tersebut mengacu pada moral dasar demokrasi, bahwa kekuasaan tidak boleh berada di satu tangan, tetapi harus menyebar seluas mungkin.Sebab itu, dalam pengelolaan negara dibuat mekanisme sirkulasi rutin. Misalnya, melalui pemilihan kepala negara dan kepala daerah secara berkala.
Dikutip dari Laman Berita UGM ( 16/3/2021) Abdul Gaffar lebih lanjut mengemukakan , dalam dunia demokrasi moderen telah disepakati jika penguasa eksekutif hanya boleh Abdul Gaffar menyebut , ada dua jenis pembatasan kekuasaan yakni pembatasan legal dan pembatasan etik. Pembatasan legal dilakukan dengan aturan resmi seperti regulasi dan konstitusi, yakni dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah maksimal dua kali. Sementara itu, pembatasan etik merupakan bentuk pembatasan yang tidak tertulis dalam hukum. Kendati demikian, pembatasan tersebut harus menjadi kesepakatan bersama. Sebagai contoh, penguasa aktif diharapkan tidak mendorong keluarga dekat untuk meneruskan kekuasaannya. Meski hal itu tidak dilarang/dibatasi secara hukum, tapi ada batasan secara etika politik.
“Pembatasan ini dalam rangka mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang ditabukan dalam demokrasi dan disepakati dalam demokrasi moderen,” papar dosen FISIPOL UGM ini.
Sementara Pakar Hukum Tata Negara, Andy Omara, S.H., M.Pub&Int.Law.,Ph.D., mengatakan tidak mungkin jabatan presiden 3 periode. Sebab, dalam pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah diatur masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal 2 periode. “Kalau dipilih 3 periode dengan UUD yang berlaku saat ini tidak memungkinkan, kecuali mengubah pasal 7 UUD,” terangnya. Untuk mengubah UUD menurut Andy bukanlah hal yang tidak memungkinkan. Amendemen UUD bisa terjadi lewat konvensi ketatanegaraan. “Bukanya tidak mungkin untuk melakukan perubahan UUD, walau tidak mudah ,” ungkap Andy.
Setelah melalui amandemen Pasal 7 tahun 1999 disebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya satu kali masa jabatan. (B-003) ***