Bappenas : "Petani Hilang di Indonesia Tahun 2063"

photo author
- Selasa, 10 Agustus 2021 | 15:00 WIB
profesi petani akan hilang
profesi petani akan hilang

Bisnis Bandung,(BB)---Ketua Departemen  Polhukam DPP-Serikat Petani Indonesia, Angga Hermanda mengemukakan, komposisi penduduk bekerja berdasarkan lapangan pekerjaan utama, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sampai Agustus 2020 sektor pertanian masih menjadi tumpuan lapangan kerja utama di Indonesia. Terdapat sekitar 29,76 persen persentasenya dan ini lebih tinggi dibandinkan sektor lainnya seperti perdagangan, industri, dan lainnya. Begitu juga dalam konteks pandemi Covid-19 ini, di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat, data dari BPS menyebutkan sektor pertanian masih tumbuh positif.

Meskipun begitu, ada juga data-data yang mengkhawatirkan tentang penurunan jumlah keluarga petani. Dari Sensus Pertanian tahun 2013, tercatat penurunan jumlah keluarga petani 5,09 juta pada rentang tahun 2003-2013. Artinya setiap satu jam, sebanyak 58 keluarga petani meninggalkan tanah pertanian. Kondisi ini diperkuat dengan jumlah petani gurem (petani kecil) meningkat dari 14 juta (2013) menjadi 15,8 juta (2018). Belum lagi jika kita melihatnya dari segi komposisi umur petani yang produktif. "Kemarin ada statemen dari Bapenas yang menyebutkan profesi petani akan hilang di Indonesia tahun 2063, karena tingginya jumlah petani yang beralih ke sektor lain. Hal ini bisa kita lihat juga dari SUTAS BPS tahun 2018, yang menyebutkan lebih dari setengah atau 61% dari petani di Indonesia berada di kelompok umur di atas 45 tahun"

Dari data-data di atas, meskipun secara data kontrtibusi sektor pertanian ini masih tinggi, ancamannya tinggi juga. Ditambah lagi situasi pertanian kita yang sedang tidak baik-baik saja saat ini (tingginya laju alihfungsi lahan, konflik agraria, tidak adanya proteksi terhadap petani atas produk hasil pertanian maupun jaminan kesejahteraan lainnya), ini bisa mengakibatkan tren/minat menjadi petani di Indonesia semakin menurun, ungkapnya kepada Bisnis Bandung (BB),  di Bandung.

SPI melihat penyebab utama menurunya profesi/keluarga petani adalah ketersediaan tanah bagi keluarga petani/petani kecil, dan keterjaminan serapan hasil panen. Dalam konteks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, SPI menilai ini masih terjadi akibat belum dijalankannya reforma agraria sejati dengan meredistribusikan tanah kepada petani kecil tak bertanah ataupun petani gurem. ini menjadi penting karena tanah merupakan faktor produksi yang vital bagi petani. Sementara itu terkait keterjaminan hasil panen, ini bisa dilihat dari belum adanya perlindungan dari pemerintah terhadap hasil panen milik petani. Belum lagi ketika masa panen raya tiba, harga di tingkat petani tidak mendapatkan jaminan dari pemerintah, sehingga sering sekali anjlok. Ini bisa kita lihat dari rendahnya harga gabah/beras ketika panen raya padi di beberapa wilayah Indonesia beberapa bulan lalu. Belum kelihatan bagaimana bentuk intervensi pemerintah dalam mengatasi hal tersebut. Sikap pemerintah yang justru mengemukakan wacana untuk impor beras pada saat itu, dinilai menunjukkan tidak mempedulikan nasib petani.

Saat pandemi covid 19 ini, jumlah masyarakat menjadi petani meningkat. Penyebabnya karena lapangan pekerjaan di perkotaan terkena dampak pandemi Covid-19 yang lebih parah dibandingkan perdesaan. Data BPS pada Februari 2021 menjelaskan tenaga kerja sektor pertanian saat ini meningkat karena banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di kota, para pekerja kembali ke desa. Tenaga kerja sektor pertanian menjadi meningkat dari 27,53 persen pada 2019, menjadi 29,76 persen pada 2020. Ini berarti sektor pertanian menjadi bantalan, yang terbukti efektif menyerap tenaga kerja meskipun situasi pertumbuhan ekonomi tidak positif. "Kenyataan itu berkaitan erat, hanya saja tidak semua pengangguran yang kembali ke desa menjadi petani. Akan tetapi secara umum mereka bekerja di sektor pertanian. Beberapa di antara mereka menjadi buruh tani, pengolah pasca panen, distributor dan pekerjaan yang terlingkup dalam sektor pertanian lainnya."

Angga Hermanda mengimbuhkan, ketersediaan tanah memang menjadi perhatian khusus. Dari data yang diperoleh, pada tahun 2019 terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas 150 ribu hektar menjadi non-pertanian. Artinya ketersediaan tanah bagi petani menjadi semakin sedikit. Belum lagi data dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2016 yang menyatakan gini rasio (indek ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia) mendekati angka 0,58. Artinya ini masih sangat timpang, karena hanya sekitar 1% penduduk yang menguasai 59% kekayaan agraria, termasuk tanah dan ruang. Ini mengapa kami berpandangan program reforma agraria menjadi vital, yakni untuk meredistribusi lahan kepada petani dan mayarakat tak bertanah. Jika mengacu pada RPJMN tahun 2014-2019 lalu, dialokasikan seluas 9 juta hektare untuk reforma agraria. Namun program prioritas ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengenai pendapatan yang dihasilkan tentu berbeda-beda, tapi pada intinya sektor pertanian masih mampu mencatatkan pertumbuhan 1,75 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB) di tengah sektor lain yang tercatat negatif.

Pada dasarnya seluruh umat manusia bisa bertani. Untuk meningkatkan kemampuan dan menjadi ahli tentu harus diimbangi dengan waktu, pengalaman, dan pengetahuan melalui pendidikan/pelatihan. SPI berpandangan diperlukan sebuah kebijakan yang komprehensif dari pemerintah untuk meningkatkan kapasitas petani dalam melakukan budidaya, tidak hanya bagi petani baru tetapi juga petani yang sudah ada. Ini penting mengingat dari data-data yang disebutkan di atas, sektor pertanian masih sanggup tumbuh positif hanya saja memang kebijakan dari pemerintah untuk mendukungnya masih dirasa kurang.

"Kami tidak memiliki data pasti mengenai komoditas yang digarap oleh para petani baru/dadakan ini. Hanya saja mengingat situasi pandemi Covid-19 saat ini dan di tengah kontraksi ekonomi, para petani tentu lebih memprioritaskan tanaman pangan dan hortikultura khusus sayuran, yang memiliki masa tanam yang berumur pendek. Kedua subsektor ini dipilih karena lebih cepat dirasakan hasilnya dibandingkan tanaman perkebunan yang memiliki masa tanam yang berumur panjang.”

Tahun transisi 2020 ke 2021 menjadi krusial karena dampak pandemi Covid-19. Banyak terjadi PHK dan pengangguran meningkat. Migrasi dari kota ke desa tak terelakkan. Perekonomian di desa masih didominasi oleh sektor pertanian. Pilihan untuk bertani atau bekerja di sektor pertanian menjadi terbuka, pungkasnya kepada BB.  (Dadan Firmansyah --- E-018)*****

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X