KEBIJAKAN Presiden Joko Widodo tentang BBM Satu Harga, mendapat apresiasi sangat tinggi dari masyarakat, terutama masyarakat di daerah terpencil dan pulau terluar. Selama ini, harga BBM di Papua, misalnya, bisa sepuluh kali lipat harga BBM di Jakarta dan di kota-kota besar di Jawa. Namun kebijakan itu tidak serta-merta dapat dilaksanakan. Kementerian ESDM, cukup lama mempertimbangkannya.Faktor geografis, sistem distribusi, dan ongkos, menjadi komponen yang memberatkan pelaksanaan BBM Satu Harga tersebut.
Peraturan Menteri ESDM No. 36 tentang BBM Satu Harga, baru terbit tahun 2016 padahal gagasan Jokowi itu sudah mulai diwacanakan dua tahun sebelumnya. Melalui Permen ESDM itu, pemerintah menetapkan harga resmi bagi beberapa jenis BBM yakni solar bersubsidi Rp 5.250/liter, premium Rp 6.450/liter. Program itu ditargetkan menjangkau 54 lokasi sampai tahun 2019. Sampai Desember 2017 sudah terealisasi di 40 lokasi.
Untuk menjangkau daerah terpencil di Papua dan Kalimantan Utara, pendistribusian BBM bersubsidi itu menggunakan pesawat terbang. Biaya pengirimannya saja mencapai Rp800 miliar pertahun. Apabila program BBM Satu Harga untuk 150 lokasi terealisasi tahun 2019, ongkos pendistribusiannya saja mencapai Rp 5 triliun. Semuanya masuk sebagai subsidi BBM bagi rakyat Indonesia di belahan paling terpencil.
Bagi kepentingan pemerataan tingkat kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, pengeluaran subsidi sebesar itu masih wajar. Namun pemerintah tetap harus mencarikan jalan bagi Pertamina, sebagai badan usaha milik negara (BUMN) agar tidak terus menerus merugi. Artinya pemerintrah harus menentukan cara paling efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan BBM Satu Harga tersebut.
Ada beberapa alternatif menuju pelaksanaan BBM Satu Harga tanpa terlalu membebani anggaran pemerintah. Namun selama cara-cara tersebut dapat direalisasikan, pemerintah tidak boleh lengah dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan distribusi BBM ke darah terpencil. Tanpa pengawasan, kebijakan Satu Harga itu hanya akan menguntungkan para spekulan, calo, dan preman. Mereka berusaha keras ”mencegat” jalur distrbusi BBM. Mereka memborong semua BBM bersubsidi tersebut dari distributor, dengan cara beli paksa atau bahkan merampoknya. Kemudian mereka menjual BBM itu kepada masyarakat dengan harga jauh di atas harga resmi. Korbannya tetap rakyat dan yang menyandang kerugian pasti pemerintah. Dalam kondisi apapun pemerintah harus menugasi aparat kemanan, piolisi atau TNI, mengawal pendistribusian BBM sampai ke tempat tujuan bahkan sampai ke konsumen.
Wakil Ketua Komisi VII DPR, seperti dimuat KOMPAS 27/12, mengusulkan, pendistribusian BBM ke daerah terpencil dilakukan secara tertutup. Hanya pembeli dengan kartu beridentitas khusus yang dapat membeli BBM dengan satu harga.Pembeliannya juga harus dalam jumlah terbatas. Hal itu semata-mata untuk pengamanan dari ulah para spekulan.
Pelaksanaan BBM Satu Harga tersebut tidak bisa dijadikan kebijakan berjangka panjang. Pemerintah harus mencari cara lain. Tentu saja yang paling mudah, pemerintah mencabut subsidi BBM dan menjualnya ke konsumen dengan harga keekonomian. Namun kebijakan itu akan mendapat tentangan besar dari semua lapisan masyarakat. Kenaikan harga BBM merupakan tindakan yang tidak populis apalagi dilakukan menjelang atau pada saat tahun politik
Alternatif lain, Pertamina memasang pipa bawah lait sampai stasiun penerimaan paling strategis.Dari stasiun itulah BBM didistribusikan ke daerah yang lebih terpencil dengan mobil tetapi tetap harus dikawal. Pemerintah juga dapat merevitalisasi kilang-kilang minyak peninggalan Belanda, sebagai tempat pengolahan minyak mentah menjadi BBM. Pilihan lain, pemerintah mendorong masyarakat setempat mengolah bahan baku lokal menjadi BBM alternatif. Kirimkanlah para peneliti senior yang memiliki keahlian dalam memilih bahan baku lokal pembuatan energi alternatif baru dan terbarukan. (Furkon) ***