TAHUN 2018 – 2019 disebut ”Tahun Politik”. Pada tahun 2018 berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Sedangkan tahun 2019 merupakan puncaknya. Pada tahun itu berlangsung pemilihan legislatif dan pemilihan umum presiden. Pada bayangan masyarakat awam, ”Tahun Politik” identik dengan hiruk pikuk yang cenderung sangat panas dan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Betapa tidak? Sejak tahun 2017 tensi politik mulai terasa memanas. Rakyat yang punya hak memilih dan dipilih, sudah merasakan situasi yang mendebarkan, khawatir, bahkan ketakutan. Mereka ”mengira” di Indonesia akan terjadi tindak kekerasan bahkan perang kepentingan yang mendorong terjadinya kheos. Maraknya spanduk, baliho selebaran, pertemuan-pertemuan berselimutkan silaturahmi, makin hari makin meningkat. Masyarakat beranggapan, hal itu merupakan tanda-tanda akan terjadinya perang antarpendukung calon dan antarkader parpol
Pilkada serentak tahun 2018 akan diselenggarakan di 171 daerah meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kanupaten. Kenduri politik yang sangat besar itu, sekecil apapun, pasti diwarnai dengan situasi amat rentan menuju konflik horisontal. Bagaimana pun pemerintah harus benar-benar siap menjaga berbagai kemungkinan. Di negara mana pun di dunia, konflik politik sering kali diawali dan diakhiri dengan konflik horisontal. Situasi kheos itu memaksa angkatan bersenjata, baik militer maupun polisi, bertindak lebih represif. Tentu saja hal itu sangat berbahaya bagi perkembangan kehidupan berdemokrasi.
Pasti, rakyat tidak mengharapkan situasi politik seperti itu terjadi di Indonesia. Semuanya bergantung kepada sikap politik para elit politik, kader, simpatisan,atau orang-orang yang sekadar jadi penumpang parpol. Hendaknya semua memiliki komitmen, secara bersama-sama loyal teradap kepentingan rakyat banyak. Dukungan terhadap parpol atau calon tidak diwarnai dengan sikap menghasut, mengumbar kejelekan calon lain, pamer kekayaan dengan politikm uang., dan bukan semata-mata berjuang demi elit politik.
Lalu, bagaiman situasi politik pada ”Tahun Politik” ini terhadap ekonomi? Kita harus akui, poltik sangat berpengaruh terhadap perekonomian sebuah negara bahkan sering kali mengglobal. Banyak negara yang terpuruk akibat situasi politik yang tidak terkendali. Banyak negara yang mengalami perang saudara berkepanjangan akibat perbedaan kepentingan politik. Akibat berkutnya, perekonomian di negara tersebut hancur.
Kita tidak tahu persis bagaimana situasi perekonomian Indonesia pada ”Tahun Politik” 2018 – 2019 tersebut. Namun menurut pengamatan para ekonom. Pertumbuhan ekonomi Indonesia justru berada pada tren positif. Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, seperti dimuat KOMPAS (22/11) menyarakan optimistis melihat perekonomian 2018. Harga komoditas mulai naik tahun ini. Dampaknya, penerimaan akan naik karena ekspor Indonesia 60% berupa komoditas. Konsumsi rumah tangga juga diperkirakan akan naik.
Sikap optimisme itu muncul juga dari orang-orang Bank Dunia. Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo Chaves mengatakan kepada Presiden Joko Widodo, dirinya sangat optimistis akan stabilitas fiskal dan kerangka ekonomi makro yang sangat tepat. Bank Dunia, menurut Chaves, optimistis ekonomi Indonesia tahun depan akan timbuh sampai 5,3 persen. ”Tahun Politik” juga biasanya berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi mikro. Perusahaan dan industri kecil-menengah akan ikut ”panen” . Uang yang beradar pada musim pilkada/pemilu
akan terpacu dan peredarannya juga jauh lebih merata sampai ke pelosok negeri. Industri kaos, spanduk, baliho, alat tulis menulis, bahan baku tekstil, bahkan kuliner, mengalami masa panen raya sejalan dengan pelaksanaan pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden.
Tensi politik yang terus naik pada pilkada serentak yang diikuti pemilu legislatif, dan pemilu presiden di Indonesia, jangan terlalu dikhawatirkan. Rakyat jangan terlalu was-was mengahapinya. Sikap politik masyarakat terus berubah sejalan dengan makin matangnya sikap demokratis masyarakat. Sikap masyarakat semakin cair terhadap warna politik semua parpol. Idiologi parpol bagi rakyat nonkader bukan lagi harga mati. Hal itu tampak dari dukungan rakyat terhadap parpol yang lebih dinamis. Daya pilih rakyat terhadap parpol dapat berubah-ubah. Ketertarikan pemilih bukan oleh sikap politik parpol tetapi terutama oleh tokoh yang diusung parpol.
Karena sikap politik masyarakat yang sangat dinamis, pengaruh politik terhadap perekonomian akhir-akhir ini tidak terlalu signifikan. Artinya petrkembangan perekonomian akan berjalan meskipun situasi politik makin panas. Itu menurut pendapat para ekonom dan pengamat sosial.
Mudah-mudahan saja seperti itu. (Furkon) ***