Rp 15,7 Triliun Terbuang di Jalan Raya

photo author
- Minggu, 8 Oktober 2017 | 14:45 WIB
opini anda
opini anda

INDONESIA merugi Rp 15,7 trilun pertahun akibat kemacetan lalu lintas terutama di Jakarta. Jumlah kerugian  itu baru dari energi yang terbuang. Belum dihitung kerugian lainnya akibat kemacetan tersebut. Banyak sekali institusi pemerintah dan waktu kerja perusahaan yang tersita akibat kemacetan. Akibat kemacetan, setiap saat terjadi inefisiensi, baik transportasi maupun produktivitas kinerja.

Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Peran Perempuan untuk Mendapatkan Solusi Inovatif dan Berkelanjutan dalam Mengatasi Masalah Transportasi” di Jakarta. Diskusi diiukuti aktivis, pengusaha, dan beberapa  perempuan penentu kebijakan. Hadir antara lain, mantan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Maria Pangestu.

Komisioner Transportasi Uni Eropa, Violeta Bulc, mengemukakan kondisi transportasi di Indonesia tidak efisien. Kemacetan terjadi di Jakarta dan kota besar lainnya. Kemacetan yang terjadi di Jakarta saja, menimbulkan kerugian ekonomi 1 miliar euro, setara Rp 15,7 muiliar per tahun. Jumlah itu hanya dihitung dari penghamburan energi. Padahal kemacetan juga berakibat pada terbuangnya waktu, kinerja yang tidak maksimal, produktivitras tidak dapat meningkat. Kemacetan juga berakibat pada kejiwaan dan kesehatan masyarakat pengguna jalan dan polusi udara yang dipastikan berakibat buruk terhadap kesehatan manusia, fauna dan flora. Arus lalu lintas yang sangat padat berakibat buruk juga terhadap infrastruktur dan merupakan pembunuh terbesar pula (silent killer).

Menurut Violeta.seperti dimuat PR (2/10), kemacetan lalu lintas merupakan penyumbang karbon terbesar.Asap knalpot yang berbahaya bagi kesehatan itu, memenuhi udara Jakarta. Dilihat dari masifnya karbon pada udara Jakarta,  Ibu Kota RI itu  sebenarnya sudah kurang  layak huni. Kemacetan dapat berpengaruh pada kesehatan jiwa, orang menjadi pemarah, stres, dan tidak sabar. Karena itu pemerintah harus punya komitmen melakukan dekarbonisasi, pembangunan infrastruktur yang mampu memperlacar arus lalulintas tanpa menghambat pertumbuhan kargo.Pemerintah juga harus mampu mengurangi arus urbanisasi. Tingginya angka urbanisasi, pasti menjadi beban berat bagi sebuah kota. Untuk itu pemerintah harus mempersiapkan transportasi cerdas (smart) dan tersedianya multimoda (beragam angkutan umum).

Menjawab tantangan itulah pemerintah tengah giat-giatnya membangun infrastruktur, antara lain mass rapid transit (MRT), jalan simpang susun,  kereta cepat, dan pembangunan jalan tol yang bersifat konektif antarkota dan antardaerah. Di beberapa kota juga dibangun jalan layang, dan berbagai infrastruktur lain. Moda angkutan juga sedang ditata menuju angkutan masal dan angkutan cerdas (smart transport). Namun tentu saja, uopaya tersebut belum secara langsung mengurangi kemacetan dan kepadatan lalu lintas. Kemacetan masih terus berlangsung bahkan cenderung meningkat. Bukan saja terjadi di Jakarta tetapi juga di Bandung dan kota besar lainnya.

Gencarnya pembangunan kota baru, kompleks permukiman yang makin tak terkendali, berakibat bertambahnya jumlah kendaraan sehingga kemacetan makin parah. Penambahan moda angkutan berupa bus, taksi, grab, dan  ojeg motor, pada satu sisi merupakan faslitas dan keberegaman transportasi, pada sisi lain, karena jumlahnya sangat banyak, justru menjadi beban kota. Dalam keadaan perlalulintasan menjadi sangat rumit, diperlukan kerja sama internasional yang lebih terfokus pada upaya dekarbonisasi dan  mengurangi kepadatan kota.

Kerja sama itu sebetulnya sudah terbentuk yakni adanya Pertemuan Asia-Eropa atau Asia Eropa Meeting (ASEM) yang melibatkan para menteri perhubungan. Pertemuan yang dilakukan secara berkala itu  bertujuan meningkatkan keselamatan di jalan raya. ASEM tahun ini yang dilakukan di Bali menelurkan 20 rekomendasi bagi dunia transportasi di Asia dan Eropa. Indonesia dapat memanfaatkan pengalaman negara-negara di Eropa dalam menata transportasi dan melakukan desain ulang kota-kota besar. Desain kota harus berbasis kelancaran lalu lintas demi kenyamanan penghuninya. Mungkin dalam upaya meredesain kota itulah terbetik keinginan sebagian birokrat, memindahkan pusat pemerintahan Indonesia dari Jakarta.

Pemindahan Ibu Kota Negara bukan pekerjaan haram dan tidak dilarang undang-undang. Akan tetapi pemindahan pusat pemerintahan jangan justru menimbulkan masalah baru yang jauh  lebih rumit lagi. ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X