Menyambut Musim Hujan

photo author
- Minggu, 8 Oktober 2017 | 11:30 WIB
opini anda
opini anda

WARGA, terutama para petani bersorak sorai. Mereka tampak bergembira, ketika Jumat 30 September 2017, turun hujan di beberapa daerah. Cukup lama masyarakat menderita akibat kekeringan. Musim kemarau yang cukup panjang tahun ini, berakibat debit air di saluran irigasi, bendungan, embung, dan sumur warga, tak berair sama sekali. Sawah yang sedianya akan ditanami padi, harus urung karena tidak ada pasokan air. Warga yang memerlukan air bersih untuk kepentingan rumah tangganya, harus rela berjalan berkilo-kilometer menuju kubangan. Mereka terpaksa menggunakan air kotor dari selokan pembuangan untuk keperluan rumah tangganya.

Pemerintah kota/kabupaten harus mengerahkan bantuan tengki air bersih dan membagikannya kepada warga. Antrean panjang berupa jerigen, kompan, atau ember, di tempat distribusi air, menjadi pemandangan biasa pada setiap musim kemarau. Minggu lalu, hujan turun hampir merata di wilayah Jawa Barat namun intensitas dan kederasannya berbeda-beda. Masyarakat yakin, hujan pada akhir September itu merupakan awal musim hujan.

Sebagian orang menyambut datangnya musim hujan dengan sukaria. Sebaliknya, ada pula yang beranggapan, datangmya musim penghujan meruapakan awal datangnya bencana. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, seperti banjir dan longsor, datangnya musim hujan  membuat mereka was-was. Mereka butuh air untuk keperluan hidup sehari-hari dan untuk pertanian. Namun mereka  mulai dihinggapi rasa takut, kalau-kalau musibah tahunan juga akan segera menimpa mereka.

Badan Meteorogi, Klimatologi, dan Geofisika (MKG)  sejak awal sudah mengimbau agar masyarakat di daerah bencana bersiap-siap menghadapi musim hujan.Benar saja, hujan pertama turun di Jawa Barat sudah membawa musibah. Kabupten Bandung meskipun hanya sekilas, mengalami banjir. Kampung Andir. Dayeuhkolot, Cigebar dan Cijagra, sebagai daerah pelanggan banjir,mulai terserang banjir. Bencana longsor terjadi  di daerah Tasikmalaya, Cianjur, Pangandaran,  dan Sukabumi. Musibah longsor yang paling parah terjadi di Kecamatan Takokak Kabupaten Cianjur. Pergeseran tanah yang dipacu hujan awal Oktober, Selasa, kemarin, mengakibatkan 138 buah rumah hancur, 103 rusak berat, 139 rusak ringan. Longsor juga menyeret 32 masjid/musola,  dan 3 bangunan sekolah. Musibah akibat hujan deras di Cianjur itu  menimbulkan kerugian sekira Rp68 miliar.

Sampai Rabu kemarin, belum ada data resmi, berapa kerugian akibat musibah pada awal musim hujan 2017 ini. Musibah di Sukabumi Selatan, Singaparna, dan Pangandaran masih sedang didata. Masyarakat yang terdampak musibah, di Cianjur saja berjumlah 1.300 jiwa penghuni 380 rumah yang rusak berat. Mereka harus mengungsi ke tempat kebih aman agar terhindar dari bencana susulan. Masih ada 2.400 jiwa lagi yang masih bertahan di rumah masing-masing yang tidak terlalu rusak. Namun mereka juga berada di daerah bencana yang sewaktu-waktu dapat tergerus longsor. Tanah di kawasan itu mengalami pergeseran yang diperparah dengan hujan yang turun cukup deras dua hari berturut-turut.

Kita selalu terperangah menyaksikan bencana melanda permukiman penduduk. Kita juga selalu meratapi akibat musibah itu. Namun kita, masyarakat dan pemerintah daerah, tidak pernah melakukan antisipasi, misalnya memindahkan semua penduduk dari daerah bencanma ke tempat yang lebih aman. Benar, relokasi penduduk itu bukan pekerjaan murah dan mudah. Pemerintah harus menanggung risiko sangat besar untuk menyediakan lahan dan sarana permukiman. Masyarakat penghuni daerah rawan bencana juga tidak serta merta mau direlokasi jauh-jauh hari sebelum bencana datang. Masyarakat di perdesaan memiliki keterikatan dengan lahan yang dimilikinya. Mereka tidak paham, daerahnya merupakan daerah yang rawan bencana. Pemerintah daerah tidak pernah mencegah bahkan melarang masyarakat yang mendirikan bangunan di daerah rawan bencana.

MKG sudah mengimbau jauh-jauh hari agar masyarakat waspada, pemerintah daerah juga sudah memiliki peta, titik-titik mana saja yang masuk zona merah. Masyarakat dan pemerintah selalu terfokus pada keadaan saat itu, tidak melihat ke masa datang. Pada musim kemarau, semua kegiatan difokuskan pada pengadaan air bersih, pembuatan embung, menyediakan pompa air, dan sebagainya. Kita tidak melihat, di daerah itu bebetrapa saat yang akan datang akan terjadi banjir atau longsor. Kita tidak pernah melakukan gerakan-gearakan yang bersifat antisipatif.

Rupanya pemerintah harus menambah sebuah badan lagi. Di samping badan penanggulangan bencana harus ada pula  badan antsipasi bencana. ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X