KASUS pasien telantar kembali muncul di media massa. Ada seorang perempuan membawa mayat anak balitanya dengan angkutan umum karena tidak mendapatkan layanan mobil jenasah dari rumahsakit tempatnya dirawat. Ada pula anak balita yang akhirnya meninggal dunia karena tidak mendapat pelayanan yang memadai dari rumah sakit. Muncul pula kasus perempuan miskin yang diombang-ambing dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.
Kasus-kasus itu bermunculan justru pada saat pemerintah berkomitmen meningkatkan pelayanan di semua rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta Benar, berita-berita itu bersifat kasuistis. Artinya jumlahnya sedikit sekali dibanding pasien yang diberi kesempatan berobat dan masuk rawat-inap. Namun peristiwa tersebut menjadi bukti, pelayanan kesehatan bagi warga, terutama warga miskin, masih rendah. Hal itu diakui Menteri Kesehatan, Nila Djuwita F. Moeloek. Ia mengatakan, masih banyak yang harus dibenahi dalam layanan BPJS. ”Namun layanan itu harus diteruskan karena terasa manfaatnya bagi masyarakat,” kata Menteri.
Benar pula kata Menteri itu. Sekarang, banyak pasien yang mendapat penanganan luar biasa (darurat). Mulai dari pemeriksaan, laboratorium, operasi, hingga penyembuhan, sepenuhnya gratis padahal secara rinci biaya penanganannya cukup tinggi, sampai berpuluh-puluh juta rupiah. Kita harus mengakui, adanya BPJS, pelayanan kesehatan semakin meningkat. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya pemeriksaan dan pengobatan berbagai penyakit. Lihat saja, setiap hari, di semua RS, baik RS pemerintah maupun swasta, penuh pasien dengan beraneka macam penyakit yang dideritanya. Mereka bernondong-bondong bahkan bersedia antre sejak subuh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Melihat hal itu, pemerintah harus tetap melakukan intervensi, terutama pengawasan terhadap pelayanan, ketersediaan tenaga medis, fasilitas, dan sistem pengadministrasian. Sampai sekarang masih banyak RS, termasuk RS milik pemerintah yang menggunakan fasilitas pelayanan, khususnya pelayanan administrasi, manual. Banyak RS yang belum masuk era digital. Mereka secara manual harus menulis keluhan pada buku status pasien, menumpuknya, kemudian mendistribusikan ke kamar-kamar praktik dokter. Sehjarusnya dengan cara komputerisasi, para dokter dan tenaga medis lainnya, tinggal membuka file pada komputer. Segala masalah yang dikeluhkan pasien sudah terbaca. Tinggal pemerimksaan medis dan penananganannya saja.
Akibat banyaknya pasien, para dokter hampir tidak dapat istirahat dari pagi hingga petang.. Dokter yang kelelahan, jangan diharapkan dapat melakukan diagnosis dan terafi yang benar-benar masif. Karena itu ada dokter yang memeriksa pasien di kamar praktiknya dengan gerak cepat. Pasien tidak disuruh berbaring, mereka duduk berderet. Dengan cara bergeser para pasien itu diperiksa cukup dengan meletakkan statoskop pada dada pasien, kemudian dokter itu menulis resep berdasarkan resep terdahulu. Kita tidak dapat menyalahkan dokter. Mereka manusia biasa yang dihinggapi rasa jenuh, lelah, lapar, dan mengantuk. Sedangkan pasien yang harus ditangani sampai beratus orang. Karena itu masih ada RS swasta yang enggan menerima pasien BPJS.
Pemerintah harus terus mendorong BPJS memberikan pelayanan yang baik terhadap RS dan tenaga medis, bukan hanya terhadap pasien. Selama ini masih sering terdengar, adanya tunggakan BPJS terhadap RS. Hal itu tidak mungkin dibebankan kepada BPJS. Menurut BPJS, tahun ini saja, diprediski, BPJS akan mengalami defisit anggaran sampai Rp9 triliun. BPJS mengharapkan bantuan pemerintah membantu menutup kekurangan dana itu minimal Rp3 triliun.
Kekurangan itu timbul karena iuran yang diterima BPJS dari masyarakat tidak cukup untuk menutup biaya penanganan pasien di RS. Peserta penerima upah yang seharusnya membayar iuran Rp 36.000/bulan, sekarang hanya Rp 23.000. Peserta yang tidak berbayar, kelas dua membayar iuran Rp 51.000 sedangkan pengeluaran Rp68.000/bulan. Kekas III yang seharusnya membayar Rp 53.000 hanya membayar Rp25.500/bulan. Defisit perbulan dari peserta berbayar saja mencapai Rp 13 miliar.
Tentu saja ”kesalahan perhitungan” itu tidak lantas menjadi beban masyarakat. Jangan sampai terlitas dalanm pikiran pemerintah untuk segera menaikkan iuran peserta BPJS. ***