SUDAH cukup lama, orang berbicara tentang uang elektronik. Cukup banyak orang Indonesia, terutama kaum berduit, menggunakan uang elektronik dalam melakukan transaksi. Sejak ”musim” kartu kredit berikut segala permasalahannya, bermunculanlah penerbut uang elektronik. Hampir semua bank, baik bank berplat merah maupun bank swasta penuh, mencoba masuk ke bisnis uang elektronik.
Apa keuntungan bagi masyarakat banyak dengan terbitnya uang elektronik? Sudah banyak dibicarakan di media. Para penerbit uang elektronik, penyedia layanan, penjual kartu, mempromosikan nilai tambah bagi para pemegang uang elektronik. Pemegang uang elektronik, tidak harus membawa uang tunai. Ke mana-mana orang tidak usah menjejali dompetnya dengan uang tunai. Cukup membawa kartu kredit, uang plastik, atau uang elektronik. Transaksi, baik kepentingan transportasi, jual beli, transaksi perbankan, sampai biaya pengobatan,tidak harus membayar dengan uang tunai.
Uang elektronik memiliki nilai praksis dan sekuriti yang jauh lebih tinggi dibanding uang tunai. Karena itu pengguna uang elektronik dari waktu ke waktu terus bertambah.Namun bagi masyarakat awam, penggunaan uang elektronik dirasakan justru tidak praktis. Mereka harus ”membeli” uang elektronik dengan jumlah tertentju, sedangkan rakyat kebanyakan boleh dikatakan ”mustahil” punya uang tunai untuk membeli uang elektronik. Hal itu pula yang membuat pembayaran tol nontunai tidak segera dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat, lebih baik berdesak-desakan di jalan arteri daripada harus membayar tol. Apalagi harus membeli kartu nontunai.
Sekarang yang menjadi masalah bukan hanya manfaat uang elektronik tetapi ongkos isi ulangnya. Ketika saldo uang elektronik habis dan harus diisi ulang, pengguna dikenai biaya pengisian. Meskuipun biaya itu relatif kecil, sekitar Rp 2.000 – Rp 3.000 pertransaksi apabila dijumlahkan, dana yang masuk ke penyedia jasa isi ulang, cukup besar. Masyarakat pengguna uang elektronik menganggap, isi ulang merupakan bentuk layanan penyedia uang elektronik. Mengapa hal itu harus menjadi beban pengguna padahal penmgguna sudah memasukkan deposit yang pasti menguntungkan bank penerbit uang elektronik.
Gonajng-ganjing biaya isi ulang iang elektronik itu mendesak pihak Bank Indonesia secara proaktif menerbitkan regulasi.Masalahnya apabila dibiarkan mengalir, ada pertentangan kepentingan antara masyarakat pengguna dan bank penerbit. Belum lagi masalah tariff yang berbeda-beda. Ada supermarket yang mengenakan ongkos isi ulang Rp 3.000 pertransaksi ada pula yang memasang biasa hanya Rp 1.500 perstransaksi. NMeburut Gubernur Bank Indonesia, Agus Martrowatdojo berjanji akan menetapkan batas biaya pebngisian uang elektronik. Ketetapan itu diterbitkan agar para pengguna fasilitas isi ulang nonbank. Isi ulang yang dilakukan di bank, tidak dikenai biaya apa-apa.
Pihak bank penerbit uang elektronik, khususnya bank berplat merah, tidak merasa berkeberatan dengan ketetapan BI itu. Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), sudah tidak memungut biaya isi ulang Namun bank nonpemerintah, merasa kurang cocok dengan aturan BI itu. Beberapa bank mengatakan, untuk kepentingan penerbitan dan isi ulang uang elekteronik dibutruhkan biaya cukup besar. ”Intinya pelayan an bagi pengguna. Kalau mau pelayanan baik, ya harus ada timbale balik. Kalau pelayanan ada gangguan, itu konsekuensinya,” kata Presiden Direktur Bank BCA, seperti dimuat KOMPAS (20/9).
Tampaknya, pemeriontah, dalam hal ini BI, sebagai bank sentral, harus segera membenahi biaya isi ulang tersebut. Gerakan Nasional Nontunai (GNN) tidak akan berjalan mulus apabila perbedaan kebijakan dibiarkan terus berkembang. Pada satu sisi pemerintah tidak boleh merugikan masyarakat pengguina uang elektronik. Pada sis lain, jangan pula penerbit dan penyedia jasa isi ulang uang elektronik dirugikan. Sementara itu, GNN harus sampai kepada masyarakat secara merata sampai ke pelosok agar pengetahuan masyarakat terhadap manfaat uang elektronik itu benar-benar mereka rasakan.
Sekarang, jangankan merasakan manfaatnya,rakyat kebanyakan belum tahu sama sekali apa itu uang elektronik. ***