DI tengah gonjang-ganjingnya harga gula di pasar domestik, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengeluarkanm maklumat, produksi gula beberapa pabrik di Cirebon, tidak layak edar. Menteri tidak menyebutkan jumlah gula yang dilarang dijual itu. Ia hanya menyebutkan gula hasil penggilingan Pabrik Gula Sindanglaut dan Pabrik Gula Terasana Baru, tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menurut Menteri Enggartiasto, penyegelan gula itu berdasarkan uji laboratorium. Ternyata gula produksi kedua pabrik itu tidak sesuai dengan standar International Commission for Uniform Methods of Sugar Analiysis (ICUMSA). Angka tingkat kemurniannya berada pada titik lebih dari 300 padahal standar internasional menetapkan angka 300 itu sebagai angka tertinggi batas kemurnian gula. Menteri juga tidak merinci apa dampak negatif gula itu apabila dikonsumsi masyarakat.
Namun di luar masalah penyegelan itu, Bulog melakukan MoU dengan beberapa pabrik gula di Jawa Barat. Bulog membeli gula milik petani tebu yang tergabung ke dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia. Perjanjian itu memuat kesepakatan Bulog akan membeli 6.000 ton gula dengan harga Rp 9.700/kg. Menurut Kepala Bulog Jabar, Bulog tidak membeli gula yang disegel Kementrian Perdagangan. Namun alasannya bukan karena gula itu tidak sesuai standar internasional tetapi Bulog dan pabrik tidak sepakat atas harga yang ditetapkan pemerintah.
Hal itulah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, khusunya di kalangan petani tebu yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat. Mereka merasa mendapat perlakuan yang kurang adil, baik dari Kementrian Perdagangan maupun dari Bulog Jabar. Gula hasil produksi pabrik gula itu tiba-tiba saja dinyataklan tidak sesuai dengan SNI padahal kedua pabrik itu bukan baru sekarang melakukan penggilingan tebu. Setiap musim giling, gula milik petani Andalan itu selalu dibeli Bulog dan dapat beredar di pasar domestik.
Dapat dipastikan, pemerintah berkeinginan gula yang beredar di pasar benar-benar gula yang baik. Mutunya sesuai dengan standar. Seharusnya pabrik memiliki badan kendali mutu. Badan atau SDM itulah yang membawa gula produksi mereka pada awal penggilingan ke laboratorium pemerintah, mengukur kadar kemurnianya. Setelah benar-benar sesuai dengan stnadar nasional dan internasional, barulah pabrik melakukan penggilingan. Kalau gula hasil produksi pabrik itu baru diperiksa mutunya setelah selesai giling, pabrik jugalah yang rugi karena gula produksinya disegel. Apalagi kalau mutu gula rendah itu justru akibat niat pabrik mengejar waktu edar.
Kita tidak yakin, pemerintah menyegal gula itu dengan tujuan diskriminatif, membela satu kelompok petani dan mengorbankan kelompok lain. Justru pemerintah ingin melindungi konsumen agar tidak menginsumsi gula rendah kualitas. Namun pemerintah juga punya kewajiban melindungi para petani tebu. Mereka jangan sampai terdampak ulah pabrikan yang mengabaikan kualitas produksi. Disegelnya gula produksi dua pabrik di Cirebon jangan sampai merugikan para petani tebu. Benar penyegelan gula itu menjadi tanggung jawab pabrik tetapi pabrik dipastikan tidak ingin menanggung kerugian sepenuhnya. Para petani tebu akan terdampak juga. Berilah jalan keluar bagio para petani tebu agar mereka tetap menjadi petani handal, hidup sejahtera.
Dalam menanggulangi kekurangan gula tahun kemarin, pemerintah mengimpor gula, terutama gula rafinasi. Gula untuk produksi itu ternyata ada pula yang bocor, beredar di tingkat konsumen. Tentu saja beredarnya gula rafinasi akan mengganggu peredaran gula milik petani tebu. Sekarang bocornya gula rafinasi ke pasar konsumsi punya alasan kuat. Gula produksi lokal tidak seluruhnya beredar di pasar. Sebagian dilarang diedarkan karena tidak sesuai SNI.
Harus ada upaya pemerintah, menutupi kebocoran gula rafinasi, menyelamatkan gula tidak layak edar menjadi gula layak edar, dan menyelamatkan petani tebu serta tetap melindungi konsumen. (Furkon) ***