Menghapus Daerah Kumuh

photo author
- Minggu, 27 Agustus 2017 | 08:45 WIB
opini anda
opini anda

PEMERINTAH Pusat berencana menekan angka kekurangan rumah, jumlah rumah tak layak huni (RTH), dan daerah kumuh. Ditargetkan, tahun 2019 nanti, angka kekurangan rumah (backlog) dari 7,6 juta menhjadi 5 juta. RTH dari 3,4 juta menjadi 1,9 juta rumah, dan daerah kumuh dari 120.000 hektaran menjadi 0.

Penurunan angka backlog terus dilakukan dengan membangun baik rumah susun maupun bantuan bagi pembangunan perumahan swadaya masyarakat. Diharapkan, pembanguna perumahan rakyat itu, selain dapat mengurangi angka kebutuhan akan perumahan, juga dapat menghapus daerah kumuh. Menurut catatan Kementrian PUPR, di seluruh Indonesia terdapat kawasan kumuh seluas 38,431 hektar (ha) di perkotaan, 78.384 ha  di perdesaan, dan 3.099 ha di kawasan khusus.

Selama ini orang mengira, kawasan kumuh terluas justru terdapa di perkotaan. Pada kenyataannya, justru di perdesaan terdapat kawasan kumuh yang luasnya dua kali lipat dibandingkan kawasan kumuh di perkotaan. Secara kasat-mata, di semua kota besar terdapat kawasan kumuh. Hampir di setiap bantaran sungai, terdapat kawasan kumuh dengan ciri khas, terbangunnya tempat tinggal yang seadanya memadati tepian sungai. Selain itu, di beberapa kawasan lain, seperti di pinggir rel kereta api, di tanah milik pemerintah, di pinggir taman, di gang-gang sempit,  berdiri bangunan-bangunan sederhana yang sebagian besar tak berizin.

Sedangkan di perdersaan, kawasan kumuh itu tidak terlalu tampak. Yang masih cukup banyak, justru rumah tak layak huni. Ke dalam RTH itu termasuk rumah tinggal yang berdiri di tepi jurang, di lembah-lembah bukit yang rawan longsor. Rakyat yang tinggal di kawasan seperti itu merupakan pemilik sah lahan itu. Mereka secara turun temurun menjadi penghuni kawasan tersebut karena lahan itu sangat subur, tidak pernah kekurangan air. Kawasan kumuh yang tampak jelas, selain di perkotaan, ialah perumahan nelayan di pantai, terutama di pantai utara. Terdapat juga di daerah gersang di tepi perbukitan kapur.

Pemerintah tengah meningkatkan pembanmgunan rumah susun sewa di beberapa daerah. Provinsi Jawa Barat mendfapat ”jatah” cukup banyak, kalau tidak dikatakan paling banyak. Tahun 2017 ini saja, pembangunan rumah susun dikerjakan di kawasan pendidikan di Jatinangor, dikhususkan bagi para mahasiswa ITB, rumah susun di dekat kampus IPB, Bogor. Beberapa pesantren di Tasikmalaya juga mendapat perhatian khusus dengan dibangunnya rusun yang berdekatan dengan pondok pesantren. Dibangunnya rusun dyang lokasinya berdekatan dengan sarana pendidikan, baik pesantren ,aupuin sekolah umum, sangat membantu para siswea dan orangtuanya. Sistem zonasi yang menmgharuskan lembaga pendidikan menerima siswa dari daerah sekitar sekolah (4 km paling jauh) dapat dilaksanakan di daerah. Para siswa dapat kos di rumah-rumah susun yang berdekatan dengan pesantren, madrasah, atau sekolah umum.

Pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) tampaknya jauh lebih efektif jika dilakukan di kawasan pendidikan. Pengalaman menggambarkan, rusunawa yang dibangun bagi warga terdampak banjir, longsor, penggusuran, atau penataan kawasan, sejauh ini masih menghadapi masalah. Masyarakat terdampak, pada dasarnya tidak begitu suka ditempatkan di rusunawa. Alasannya beragam. Ada yang berkeberatan karena rusunawa dibangun dui tempat yang jauh dari tempat mereka berusaha. Ada pula yang berkeberatan dengan besarnya uang sewa. Bahkan ada yang beralasan, rusunawa tidak sesuai dengan budaya masyarakat. Golongan ini lebih memilih rumah tapak atau kembali ke tempat asal.

Akibat masyarakat yang kurang berminat menempati rumah susun, kawasan kumuh diperkirakan akan terus tumbuh dan makin luas. Masyarakat terdampak yang selama ini menempati kawasan kumuh, sudah merasa sangat terikat dengan daerah kumuh tempat mereka tinggal. Pemindahan mereka kle tempat yang layak huni, bukan hal yang sangat mudah. Pemindahan yangh sering pula dilakukan dengan penggusuran, tidak selalu berakhir dengan mulus.

Tampaknya target pemerintah menghapus kawasan kumuh sampai habis sama sekali (titik nol) masih butuh waktu. Sosialisasi masih harus terus dilakukan secara efektif dan komperhensif. Masyarakat yang tinggal di kawasan berisiko, sepertik tebiong, lembah, di sepanjang patahan tanah, harus mendapat prioritas. Pembangunan perumahan, baik rusunawa maupun rumah tapak dan subsidi bagi pebangunan rumah rakyat seyogianya dilakukan secara serempak. Sedangkan penghapusan kaweasan kumuh di perkotaan, selain pembangunan perumahan bagi masyarakat terdampak, juga dibutuhkan pendekatan manusiawi,  serta penegakan hukum.

Kalaupun penghapusan kawasan kumuh tidak selesai seperti yang ditargetkan, masyarakat akan maphum. Masalah itu sungguh sulit. Butuh dana besar, pendekatan psikologis, penyuluhan yang efektif, dan penegakan hukum. ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X