PEMERINTAH menargetkan, selama lima bulan dari Maret hingga Agustus, Bulog harus mampu menyerap 8,6juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah itu setara dengan 5,461 juta ton beras. Optimisme pencapaian target itu berdasarkan data, luas panen Maret – Mei 5 juta hektar sedangkan Juni – Agustus 2017 seluas 3,7 juta hektar.
Target tersebut sebetulnya sangat rendah dibanding tahun lalu. Luas panen yang lebih kecil, pada panen tahun lalu mencapai 79,1 juta ton GKG. Target Maret- Agustus tahun ini hanya sekira 12 persennya saja. Diyakini, pemerintah dalam hal ini Bulog dengan pasukan khususnya, penyerapan gabah petani (sergap) akan mudah memenuhi target itu. Namun pada kenyataannya, sampai awal Agustus 2017, menurut catatan Bulog, GKG yang terserap baru 1,63 juta ton.
Ada pergerakan yang menghambat penyerapan gabah oleh Bulog. Harga padi (GKG) di tingkat petani bertahan pada angka Rp 4.600 per-kg atau Rp 7.300 per-kg beras. Dengan demikian, pemerintah ”dipaksa” menaikkan harga pembelian. Instabilitas harga padi/beras itu ditempuh pemerintah untuk mencapai target dalam program Ketahanan Pangan Nasional.
Instabilitas harga pemebelian GKG atau beras pada satu sisi, dapat meningkatkan pendapatan petani. Pada sisi lain, anomali harga itu dapat mengganggu pasar sekali gus memberatkan konsumen. Mau tidak mau hal itu juga dapat memicu makin lemahnya daya beli masyarakat. Masalahnya, tingginya harga beras saat ini belum tentu dinikmati para petani penggarap. Kebanyakan mereka justru berubah menjadi konsumen \yang harus membeli beras dengan harga tinggi. Lepas panen, biasanya mereka sudah tidak punya padi lagi. Banyak di antara mereka yang menjual padinya pada saat panen bahkan padi yang dipanennya sudah bukan miliknya tetapi milik para pengijon atrau tengkulak. Para petani berdasi, pengijon, tengkulak, dan pelepas uang sajalah yang tengah menikmati tingginya harga padi/beras di tingkat hulu.
Pergerakan harga padi/beras pada saat panen raya dengan tingkat produksi cukup tinggi, seperti dimuat KOMPAS (15/8), cukup aneh. Pemerintah harus benar-benar merunut sampai hulu, mengapa anomali harga beras itu terjadi. Jangan-jangan harga di tingkat petani jauh lebih murah dari patokan harga. Bisa jadi, memang persediaan padi kita minim. Mungkin saja terjadi gerakan pembelian padi besar-besaran yang dilakukan para pengusaha beras. Mereka berlomab menampung padi dari petani. Mereka memiliki penggilingan sendiri kemudian mengolahnya menjadi beras dengan label kualitas tinggi. Harga jualnya berlipat-lipat dari harga beli.
Dalam perekonomian terbuka seperti sekarang ini, permainan harga seperti itu bisa dan biasa terjadi. Namun apabila hal itu tidak diimbangi dengan tata niaga dan pengawasan yang benar, para pengusaha itulah yang alan memegang kendali pasar. Para petani yang seharusnya diuntungkan dengan perilaku usaha seperti itu, pada kenyataannya, meraka justru jadi korban permainan harga. Mereka tetap merugi. Masyarakat dipaksa membeli beras dengan harga tinggi dengan kualitas yang belum tentu sesuai dengan yang tertera pada kemasan.
Potret petani padi ternyata satu format dengan potret para petani garam. Indonesia mengalami krisis garam. Harga di tingkat konsumen sangat fantastis. Barangnya langka harganya mahal. Sedangkan nasib para petani garam, masih tetap seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Lelah dan miskin. Hasil panen, baik kuantitas maupun kualitas terus menurun akibat anomali cuaca dan lambannya penerapan teknologi pembuatan garam.
Para petani garam tidak menikmati gejolak harga apalagi dengan masuknya garam impor yang berkualitas dengan harga lebih murah. Para pengepul memilih tidak membeli garam langsung dari penjemuran di tingkat petani. Akibatnya para petani garam melepas produksinya dengan harga sangat rendah. Padahal, pada situasi ekonomi normal, kelangkaan pasokan akan meningkatkan harga jual. Para petani garam yang produksinya sekarang merosot mengakibatkan turunnya pasokan garam ke pasar. Mau tidak mau harganya akan naik dan kenaikan itu akan dinikmati para petani garam meskipun persediaan garam di tambaknya sedikit.
Selisih harga pada pincangnya pasokan dan kebutuhan (suply and demand) hanya dinikmati golongan tertentu saja. Kini para importir tersenyum simpul, para eksportir gigit jari. Konsumen di mana-mana mengeluh. Sedangkan petani garam tidak lagi punya sesuatu yang dapat mereka gigit. ***