Oleh: YAYAT HENDAYANA
DAYA beli masyarakat Indonesia itu misterius. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bapenas, Bambang Brodjonegoro. Padahal, masih kata Bambang, persoalan daya beli masyarakat kita sedang merupakan perbincangan yang ramai. Menteri mengutarakan hal itu karena bukti-bukti menunjukkan bahwa transaksi perdagangan di masyarakat cukup tinggi. Data perkembangan ekonomi kita pada tahun 2017 menunjukkan kecenderungan yang bagus. Penerimaan negara dari sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) meningkat cukup signifikan.
Penerimaan PPN tentu tidak bersumber dari ekspor, karena berdasarkan kebijakan pemerintah, perdagangan ekspor itu tidak dikenai pajak. Kebijakan itu ditempuh oleh pemerintah tentu saja dengan tujuan menggairahkan kegiatan ekspor produksi kita ke luar negeri. Penerimaan pemerintah dari sektor PPN meningkat, sumbernya tentu saja adalah transaksi perdagangan yang berlangsung di masyarakat. MenurutĀ Bambang, data Lembaga Pusat Statistik (LPS) anggota masyarakat pemilik rekening justru meningkat tajam.
Misterius itu artinya susah ditebak. Daya beli masyarakat Indonesia misterius, itu berarti kondisi daya beli masyarakat kita susah ditebak. Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bapenas itu tak bisa menarik kesimpulan apakah daya beli masyarakat kita rendah atau tidak. Menurut Menteri, alih-alih diduga daya beli rendah, nyatanya transaksi perdagangan di masyarakat cukup tinggi, sehingga penerimaan negara dari sektor PPN pun meningkat tajam.
Kita ingin mengatakan bahwa daya beli masyarakat kita tidak misterius sebagaimana dikatakan oleh Ketua Bapenas. Tidak perlu susah-susah untuk mencari pembuktian bahwa daya beli masyarakat kita rendah. Transaksi perdagangan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat yang menyebabkan penghasilan negara dari sektor PPN meningkat bukanlah transaksi perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat lapisan bawah. Pada umumnya, transaksi perdagangan yang berlangsung di masyarakat justru dilakukan oleh anggota masyarakat kelas menengah ke atas. Jumlah mereka tidak cukup banyak dibandingkan dengan anggota masyarakat kelas bawah.
Jika daya beli masyarakat dinilai tinggi, tentu saja daya beli dari anggota masyarakat kelas menengah dan atas yang jumlahnya tidak bayak. Masyarakat kelas bawah, saat ini dilanda bencana berupa rendahnya daya beli. Rendahnya daya beli itu disebabkan oleh tidak seimbangnya pendapatan yang mereka peroleh dengan kebutuhan bahan pokok sehari-hari yang terus menerus merangkak naik. Setelah harga cabe rawit, bawang merah dan kebutuhan pokok sehari-hari meningkat, harga garam pun melonjak naik. Sebagian besar rakyat tidak mengerti mengapa harga garam naik yang disebabkan oleh rendahnya produksi, padahal sekeliling tanah air kita, juga sekeliling pulau-pulau kita laut melulu. Regulasi lah tentu yang menyebabkan produksi garam tak mampu memenuhi kebutuhan domestik. Harga garam naik karena kita harus mengimpornya dari negara tetangga. Naiknya harga garam impor tentu merupakan ulah oknum importir. Mereka lah yang tampaknya berusaha agar produksi garam dalam negeri tidak cukup memenuhi kebutuhan domestik, baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri.
Bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa akrobat. Dengan berbagai cara, mereka masih dapat hidup kendati pendapatannya tidak seimbang dengan pengeluarannya sehari-hari. Jadi, percayalah bahwa daya beli masyarakat pada umumnya rendah. Hanya segelintir masyarakat dari kelas menengah dan ataslah yang daya belinya tinggi. Tentu tak sepatutnya apabila ada yang beranggapan bahwa daya beli masyarakat kita misterius. Hanya mereka yang tak pernah mendengar suara rakyat kebanyakanlah yang masih saja berpendapat bahwa daya beli masyarakat Indonesia misterius.***
Dr. Yayat Hendayana adalah Ketua Pengelola Akademi budaya Sunda, serta dosen pada program sarjana dan pascasarjana Unpas.