Rasa Garam yang Pahit

photo author
- Minggu, 6 Agustus 2017 | 08:45 WIB
opini anda
opini anda

Oleh: YAYAT HENDAYANA

 RASANYA memang tidak berubah. Tetap asin sepanjang masa. Yang tidak berubah dari garam itu, yang tetap asin itu,  ialah rasa di lidah. Rasa yang berubah adalah di hati. Garam yang di lidah asin, di hati malah jadi pahit. Itulah yang terjadi sekarang ini. Indonesia yang merupakan negara kepulauan, yang di seputar negerinya laut melulu, produksi garamnya malah tak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bukan hanya untuk industri, bahkan untuk konsumsi pun pasokannya masih sangat jauh dari kebutuhan. Sebagaimana sudah diduga, harganya jadi melambung tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri serta untuk menekan harga yang semakin membubung tinggi, pemerintah memasok pasar dengan garam yang diimpor dari Australia. Padahal luas laut di Australia tak seluas laut di negeri kita.

Kelangkaan garam, baik bagi industri maupun untuk kebutuhan rumah tangga, disebabkan oleh tidak maksimalnya panen garam tahun ini, sedangkan impor garam oleh PT Garam tertunda karena berbagai alasan. Produksi garam dalam negeri tidak maksimal karena musim panas yang tidak panjang, ditambah dengan sering terjadinya hujan. Kita kurang tahu persis mengapa impor garam oleh PT Garam tahun ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Produksi garam dalam negeri yang bakal turun, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan dengan kebutuhan, baik industri maupun rumah tangga,  mestinya sudah dapat diduga oleh pemerintah. Menghadapi panen garam yang tidak maksimal, yang bakal menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan, pemerintah segera mengambil kebijaksanaan impor garam. Dengan demikian, kelangkaan garam dapat teratasi, sehingga harganya dapat dikendalikan.

Lonjakan harga garam berlangsung gila-gilaan. Di daerah Jambi yang lautannya cukup luas, harga garam naik sekitar 300 persen. Dari harga semula kurang dari dua ribu rupiah per kg menjadi diatas 6 ribu per kg. Kenaikan itu juga terjadi di berbagai daerah yang areal lautnya luas. Memang ironis sekali. Indonesia yang merupakan negara jepulauan dengan areal pantainya yang sangat luas malah kekurangan garam. Selalu terjadi ketimpangan antara hasil produksi dengan kebutuhan pasar. Cara mudah yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan impor. Tak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menaikkan produksi. Dari tahun ke tahun, luas lahan pengolahan garam bergerak seperti deret hitung yang lamban, sedangkan kebutuhan setiap tahun seperti deret ukur yang cepat.

Selain dikeluhkan oleh ibu-ibu rumah tangga, harga garam yang tinggi itu juga sangat dirasakan oleh para pengusaha ikan asin. Di antara mereka bahkan ada yang sudah menghentikan kegiatannya karena harga garam yang terus membubung. Mereka menunggu sampai berlangsungnya panen raya garam, yang harganya tentu tidak setinggi saat ini.

Mengamati perkembangan harga bahan pokok sehari-hari, hampir dapat dikatakan tak ada harga kebutuhan pokok sehari-hari yang tidak naik. Mulai dari harga beras sampai dengan harga bumbu-bumbuan. Cabe rawit dan bawang merah misalnya, kenaikannya sama sekali tak terkendali. Harga-harga bahan pokok itu nyaris tak terjangkau oleh para buruh yang upahnya paspasan. Apabila dengan kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok itu para petani sebagai produsennya memperoleh untung, tentu dapat kita terima. Tetapi pada kenyataannya, keuntungan itu tidak diraih para petani melainkan oleh para tengkulak. Pemerintah seolah-olah membiarkan hal tersebut terjadi.

Di sektor ekonomi, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Liberalisasi ekonomi dibiarkan terus terjadi. Ekonomi kerakyatan yang diamanatkan oleh Pancasila, ditinggalkan sama sekali. Oleh mekanisme pasar, fluktuasi harga berlangsung sangat cepat dan berlangsung di luar kendali. Harga-harga yang di pasaran fluktuatif itu seringkali terjadi pada barang-barang kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Dalam kondisi seperti itulah rakyat mengeluh dan putus asa.***

Dr. Yayat Hendayana, M.Hum adalah Ketua Pengelola Akademi Budaya Sunda, serta dosen pada program sarjana dan pascasarjana Unpas

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X