MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dinilai sebagian anggota masyarakat, sebagai menteri yang bertindak kontroversial. Niatnya, menerapkan sistem full day school mengundang sikap pro kontra. Bahkan Wakil Presiden, Jusuf Kalla berkomentar. Penerapan sistem belajar sehari penuh di Indonesia masih butuh waktu. Artinya Indonesia belum siap melaksankana sistem baru yang sebenarnya tidak baru itu.
Karena pendidikan di Indonesia lebih banyak yang menganut sistem konvensional sistem full day school mendapat tentangan yang sangat kuat. Bapak Menteri tidak ingin memaksakan kehendaknya. FDS tinggal wacana. Sekarang Muhadjir Effendy tengah menggebrak para sastrawan agar ikut bergerak. Selama ini, kesusatraan seolah-olah merupakan barang ”aneh” bagi para remaja Indonesia. Sejak lama para penerbit buku sastra bangkrut. Tidak ada orang Indonesia yang mau membeli buku hasil karya para sastrawan. Kalaupun masih ada novel yang terbit, masih harus diuji, sampai di mana pengaruh positifnya terhadap pembangunan karakter bangsa ini. Nilai sastra bukan hanya pada wujud tulisan, kebahasaan, struktur, pengolahan isi, tetapi juga dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.
Di Indonesia kesusatraan pernah berjaya dalam rentang waktu cukup panjang. Hampir semua kerajaan di nusantara mengenal sastra, sejarah, dan filsafat, melalui tulisan di atas daun lontar. Berbagai kerajaan menghasilkan kitab-kitab yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Rakyat, bukan saja yang berada di lingkungan kerajaan itu saja, mengenal Mahabrata, Bhagawat Gita, Negara Kertagama, Carita Parahiyangan, Kidung Sunda, dan sebagainya. Kitab-kitab itu ditulis oleh para pujangga zaman itu. Kitab itu abadi hingga sekarang menjadi bahan kajian, baik nilai sastranya, filsafatnya, dan nilai sejarahnya.
Kesusastraan di Indonesia terus berkembang. Kita mengenal pujangga besar, sejak Raja Ali Haji, hingga angkatan paling mutahir. Orang Indonesia sampai awal abad 20, banyak yang suka membaca. Meskipun saat itu tidak ada gerakan literasi, perpustakaan merupakan sarana paling ampuh dalam membentuk karakter bangsa. Banyak buku bernilai sastra yang beredar, dibeli dan dibaca masyarakat melalui bibiolotek keliling.
Sayang sistem pemerintahan, kenegaraan, dan pendudikan kita yang makin abai terhadap kebudayaan, menjauhkan sastra dari kehidupan masyarakat. Padahal kita tahu, kemajuan sebuah negara atau bangsa, sedikitnya ada andil karya sastra. Kita sangat akrab dengan para pendidi negeri ini, mereka dikenal rakyat melalui tulisannya. Bung Hatta, Bung Karno, bahkan para aktivis Kebangkitan Nasional, semuanya pencinta sastra dan seni. Mereka merupakan penulis, sedikitnya penikmat seni. Apresiasi kebudayaan mereka sangat mumpuni tanpa meninggalkan kajiannya terhadap kitab-kitab keagamaan.
Sampai tahun 90-an, toko buku masih cukup banyak, mereka menjual buku-buku sastra di samping buku ilmu pengetahuan dan agama. Diskusi kebudayaan, termasuk bedah buku sastra, masih sering diadakan para seniman. Pameran lukisan masih dikunjungi banyak orang. Makin hari kejayaan dunia sastra semakin pudar. Para siswa dan mahasiswa tidak lagi tertarik masuk perpustakaan membaca tulisan Jalaludin Rummy, Shakespeare, Chekov, Sastre, Hamka, Ahdiat Kartamihardja, dan sejumlah pengarang lainnya, baik internasional, nasional, maupun daerah.
Tahun 2017 ini, tiba-tiba Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meminta semua lembaga atau balai bahasa, mengkoordinasikan para sastrawan ”blusukan” masuk kelas. Mereka mengajak para siswa mengapresiasi karya sastra. ”Penguatan sastra di sekolah merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam pendidikan karakter,” kata Menteri. Kita yang selama ini peduli terhadap kebudayaan, tentu sangat mengapresiasi komitmen Menteri Muhadjir itu. Kehidupan sastra akan kembali bergairah, gerakan literasi akan berbuah. Masyarakat gemar membaca adalah masyarakat yang cepat maju.
Jangan takut, karya sastra dapat dinikmati orang segala umur. Tidak ada pengaruh buruk terhadap perkembangan kehidupan anak-anak. Karya sastra ditulis para penulis yang tahu persis dampak tulisannya. Para sastrawan tidak pernah punya sikap menggurui tetapi mengajak manusia berpikir dan bersikap arif.
Dampak ekonominya juga jelas, buku-buku sastra akan laku kembali, para penulis dan penerbit bergairah lagi.Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dapat mengarahkan jajarannya hingga ke daerah, memasukkan anggaran pembelian buku-buku sastra dan sejarah. Para kepala dinas dan balai bahasa dapat meminta para sastrawan atau ahli bahasa, bersama-sama memilih dan memilah buku, koran, majalah yang berisi karya sastra. Semua buku itu disimpan di perpustakaan sekolah. Semua siswa diwajibkan membaca sebuah buku dalam waktu dua minggu. Mereka diminta menulis hasil analisis atau kajian atas buku yang dibacanya.
Kita berharap, tahun 2017 ini menjadi tahun kebangkitan kembali kesusastraan baik daerah maupun nasional. ***