nasional

Utang Pemerintah Per-Agustus 2021 Rp 6.625,4 triliun Merupakan Sinyal Bahaya

Sabtu, 9 Oktober 2021 | 15:36 WIB
Utang Pemerintah Per-Agustus 2021 Rp 6.625,4 triliun Merupakan Sinyal Bahaya

BISNIS BANDUNG - Utang pemerintah per Agustus 2021 tembus di angka Rp 6.625,4 triliun. Sementara rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) telah melonjak jadi 40,84 %. Rasio Utang Pemerintah Masuki Fase Bahaya Angka rasio utang tersebut memang masih jauh dari batas aman yang ditetapkan oleh undang-undang yakni 60 % dari produk domestik bruto (PDB). Namun jika melihat kinerja pengelolaan fiskal secara keseluruhan, peningkatan rasio utang tanpa disertai kemampuan pemungutan pajak tentu merupakan sinyal bahaya bagi pemerintah. Dari berbagai sumber yang dikutip Bisnis Bandung.com menyebutkan, sebelum pandemi, tepatnya pada tahun 2019 dan tahun-tahun sebelumnya, rasio utang pemerintah selalu berada di angka 30 % ke bawah.  Angka rasio utang mengonfirmasi tentang perbandingan antara total outstanding utang pemerintah dengan jumlah PDB. Dalam kacamata fiskal, peningkatan rasio utang bukan sebuah kabar baik.  Pasalnya, melonjaknya rasio utang akan memperkecil fleksibilitas pemerintah dalam mengelola anggaran. Hal ini kemudian berimbas pada berkurangnya kualitas belanja negara yang dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ironisnya, justru utang terhadap PDB pemerintah setiap tahun  terus melonjak. Lonjakan tersebut diakibatkan oleh ketidakmampuan pendapatan negara untuk menutup kebutuhan belanja pemerintah. Antara lain, karenakas negara terus mencatatkan defisit. Bahkan saat pandemi, defisit berada lebih dari 3 %. Tahun 2017 atau 3 tahun sebelum pandemi, rasio utang pemerintah tercatat sebanyak 29,39 %. Pada saat pandemi, tahun 2020, rasio utang pemerintah melesat menjadi 39,35 %. Sementara tahun ini jika melihat pergerakan PDB dan agresifitas penarikan utang, rasio utang bisa berada di kisaran antara 44 - 45 %. Di sisi lain, setiap tahun penerimaan pajak dan rasio pajak tak pernah sesuai ekspektasi. Rasio pajak dengan basis penghitungan yang cukup luas, yaitu dengan memasukan penerimaan pajak dan pendapatan non pajak, angkanya hanya di kisaran 11 %.

 Rasio pajak Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tokelau dan Samoa, dua negeri kecil di Samudra Pasifik yang rasio pajaknya masing-masing sebesar 18,1% dan 25,8 % dari produk domestik bruto (PDB). Capaian rasio pajak ini juga masih jauh dibandingkan dengan rata-rata negara Afrika yang di atas 17,2. Angka rasio pajak Indonesia akan lebih jeblok jika menghitung dengan menggunakan indikator penerimaan pajak non migas.Sangat jauh dari ideal. Konsekuensinya, peningkatan rasio utang di tengah jebloknya rapor pemungutan pajak sangat berbahaya. Sebab, keseimbangan antara pendapatan negara dengan utang semakin tidak ideal. Akibatnya, pemerintah terus tekor, gali lubang tutup lubang. Utang baru dibuat menambal atau membayar utang lama. Praktik ini terkonfirmasi dari angka keseimbangan primer yang terus mencatatkan defisit. Istilah gali lubang tutup lubang memang memiliki tendensi yang negatif. Namun praktik itu mau tak mau terus dilakukan supaya belanja tetap optimal. Walau, pemerintah juga sadar langkah ini tetap memiliki konsekuensi pada kemudian hari.  Pemenuhan belanja melalui utang akan membahayakan pengelolaan anggaran. Utang  semakin membumbung. Kualitas anggaran jeblok. Dan jika terus dibiarkan, hal ini akan menjadi bom waktu. Oleh karena itu, satu-satunya jalan bagi pemerintah untuk menyelamatkan kredibilitas pengelolaan fiskal adalah meningkatkan penerimaan pajak. Memang ini pekerjaan yang tidak mudah. Tetapi tidak mustahil untuk dicapai. Keberadaan orang para pengambil kebijakan di bidang fiskal bukan orang sembarangan. Mereka rata-rata adalah tamatan sekolah mentereng di dalam dan di luar negeri. Punya banyak gelar dan penghargaan. Rasanya sayang jika beragam titel tersebut  tak mampu membawa rasio pajak Indonesia keluar dari zona jeblok.(B-003) ***

Tags

Terkini