nasional

Zaenur : Jokowi Mimilih Diam Dalam Kasus TWK Pakar Hukum Meminta Presiden Turun Tangan

Kamis, 30 September 2021 | 12:15 WIB
Zaenur

BISNIS BANDUNG - Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai pemecatan 56 pegawai (50 dipecat langsung, 6 orang dipecat karena gak mau ikut diklat) . Dipecat dengan alasan tak lulus  TWK, sebagai bukti pemberantasan korupsi Indonesia makin kacau. Aksi pimpinan KPK semakin membuktikan bahwa mereka ingin menggeser nama tertentu seperti Novel Baswedan dan pegawai KPK yang lantang soal antikorupsi. KPK tak menghiraukan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman. Mardani menyayangkan Presiden, padahal ada temuan Komnas HAM dan Ombudsman.

"Makin dibajak pemberantasan korupsi di negeri ini. TWK, memang untuk menyingkirkan nama-nama tertentu. Orang-orang yang kritis dan berkali-kali menangani kasus besar. Rekomendasi Komnas HAM & Ombudsman, asesmen tersebut penuh pelanggaran hak asasi dan malaadmnistrasi juga tak  dihiraukan," ujar Mardani dalam keterangan, Kamis lalu.

Dikemukakan Mardani, banyak pakar hukum yang meminta presiden untuk turun tangan, apalagi KPK kini sudah masuk dalam rumpun eksekutif yang merupakan wilayah presiden. "Bapak Jokowi sebagai kepala negara, kepala pemerintah serta pembina tertinggi aparat sipil negara mesti segera bersikap. Karena publik masih menunggu dan setia dengan putusan presiden, TWK jangan dijadikan dasar untuk berhentikan pegawai," ucap Mardani.

Pegiat antikorupsi dari Pukat UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai pemecatan 56 pegawai KPK sebagai tindakan pelanggaran hukum dan sewenang-wenang. "Keputusan pemberhentian tersebut merupakan wujud tindakan sewenang-wenang sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Pejabat yang tidak memiliki kewenangan tetapi mengambil keputusan itu merupakan satu bentuk tindak sewenang-wenang," ungkap Zaenur,baru-baru ini. Menurut Zaenur,  dalil KPK bahwa mereka menggunakan putusan MA dan MK tidak tepat. Sebab, MA dan MK menguji formalitas dan norma TWK, bukan proses TWK yang bermasalah. Sebab lanjut  Zaenur,  melihat proses TWK sudah mengarah pada upaya menyingkirkan pegawai KPK tertentu. Dugaan tersebut menguat karena Komnas HAM memberikan 11 rekomendasi dan Ombudsman menemukan malaadministrasi dalam proses TWK. Menurut Zaenur, langkah Firli cs melakukan pemecatan  juga melanggar putusan MA Nomor 26 tahun 2021 tentang pengujian atau hak uji materi. Putusan MA menyatakan tindak lanjut kepada pemerintah yakni presiden sebagai pemimpin pembinaan pegawai tertinggi, bukan ke KPK. "Jadi saya melihat keputusan KPK ini bertentangan dengan putusan MA, juga mendahului sikap presiden. Keputusan ini oleh KPK memang dilakukan terlihat terburu-buru. Kenapa terburu-buru? karena mengambil momentum jangan sampai presiden mengambil sikap," ujar Zaenur. Namun Zaenur melihat Jokowi memilih diam dan buang badan dalam konflik TWK,   meski dimandatkan dalam putusan MA tentang TWK.  Zaenur menyebut, menguatkan persepsi bahwa Jokowi bukan sekadar tidak tahu, tetapi juga tidak punya komitmen pemberantasan korupsi. "Saya melihat bahwa presiden tidak bersikap itu semakin menunjukkan memang selain ketidaktahuan juga menunjukan rendahnya komitmen pemberantasan korupsi oleh presiden dan sikap lembek Jokowi ini bukan yang pertama," ujar Zaenur .

Zaenur mengungkit janji Jokowi yang ingin mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. Akan tetapi, janji tersebut hanya janji kosong. Selain itu , Jokowi juga tidak konsisten akan pernyataannya  bahwa TWK tidak bisa menjadi alasan pemecatan.

“Rekomendasi Komnas HAM,  Jokowi bisa menggunakan rekomendasi Komnas HAM sebagai acuan untuk menyelesaikan polemik TWK,” ungkap Komisioner Komnas HAM M. Chairul Anam. "Presiden masih berwenang dan bisa mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan TWK KPK. Temuan dan rekomendasi Komnas HAM bisa dijadikan batu pijak untuk langkah tersebut," kata Anam dalam keterangannya, baru-baru ini. Hasil temuan Komnas HAM dan rekomendasi berbeda dengan putusan MA dan MK , sehingga tidak bisa dibandingkan. Putusan MA dan MK berfokus pada norma dan tidak menyentuh temuan faktual, sementara Komnas HAM fokus pada temuan faktual dan tidak menggunakan putusan sebagai acuan. "Karenanya, langkah presiden yang menjadikan rekomendasi Komnas HAM sebagai pijakan dengan tetap menghormati putusan MK dan MA terkait norma tersebut masih bisa diambil. Hal ini sebagai wujud tata kelola Negara Konstitusional. Fakta-fakta adanya pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan TWK tersebut penting untuk ditindaklanjuti sesuai rekomendasi Komnas HAM oleh presiden," kata Anam menambahkan. (B-003) ***

Tags

Terkini