nasional

Impor Merupakan Jawaban Mujarab atas Kesenjangan Ketersediaan dan Permintaan 

Senin, 27 September 2021 | 14:04 WIB
peternakan

Bisnis Bandung, (BB) --- Komite Pendayagunaan Petani, Rochadi Tawaf mengemukakan, pasca Ramadhan dan Idul Fitri merupakan momentum yang tepat untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pembangunan peternakan, khususnya komoditas ternak sapi. Pasalnya, komoditas ini selalu menjadi tranding topic lantaran memiliki status sosial di tengah ritual keagamaan tersebut. Permintaanya yang meningkat secara serentak, jika tidak diimbangi dengan ketersediaannya sudah pasti harga akan melonjak. Fenomena ini, telah terjadi berulang setiap tahun.

Rochadi Tawaf mengutip pernyataan ahli ekonomi pertanian, Bustanul Arifin (2021), yang menyatakan. kini subsektor peternakan sedang mengalami ujian yang sangat berat. Tumbangnya revolusi peternakan (baca sapi) berdasarkan atas fenomena yang terjadi saat ini, tentu merupakan keniscayaan pemerintah mengendalikan ketersediaan daging sapi. Tatkala permintaan akan daging meningkat tajam 6,4% sementara kemampuan produksinya sangat rendah, hanya 1,3%. Sehingga, kebutuhan akan daging sapi setiap tahun harus dipenuhi dengan impor. Kesenjangan ini terus melebar dari tahun ke tahun. Dampaknya, telah terjadi gejolak harga setiap tahun. Dalam kasus ini, pemerintah selalu mengatasinya dengan kebijakan importasi daging sapi/kerbau. Pasalnya, kebijakan intervensi itu dalam jangka pendek sangat mujarab, namun hanya sesaat. Hal ini, karena perencanaan pembangunan tidak dipatuhi sesuai dengan asumsi yang dibuatnya. Lemahnya perencanan, dilanggarnya asumsinya dalam konsep tersebut, menyebabkan  terjadinya gejolak harga daging sapi yang selalu berulang. Dengan kata lain, gejolak harga daging merupakan indikasi lemahnya perencanaan pembangunan peternakan.

Mengutip pernyataan Bustanul Arifin (2021), revolusi peternakan hampir tumbang, lantaran tumbuh negatf 0,33%, sementara pertanian tumbuh positif 1,75%. Apabila ditelusuri, penyebab tumbangnya revolusi peternakan (indikasi pada ternak sapi), bermuara pada kebijakan kontraproduktif. Kebijakan tersebut: (1) Larangan  penggunaan hormon pertumbuhan pada usaha ternak sapi potong tertera dalam UU 41/2014  pasal 22,  ayat 4 C. (2) Kebijakan yang menyangkut lama pemeliharaan penggemukan sapi potong minimal 120 hari, (UU 41/2014 tentang PKH, pasal 36B, ayat 5). (3) Kebijakan mengenai perubahan pendekatan pembangunan dari produksi kepada harga daging sapi (Permendag 699/2013). (4) kebijakan perubahan berat badan pada impor sapi bakalan dari 350 kg menjadi 450 kg (Permentan 49/ 2016 ke 02/ 2017 pasal 15). (5) Kebijakan membebaskan impor daging dan sapi (Permentan No 17/2016, 34/2016 dan permendag 59/2016). (6) Kebijakan membuka impor dari negara yang belum bebas PMK (PP 4/2016 dan SK Mentan No.2556/2016). (7) Kebijakan rasio impor sapi bakalan dengan indukan (Permentan 02/2017 pasal 7).

Dampak berbagai kebijakan tersebut, telah terjadi de-industrialisasi pada usaha penggemukan. Berdasarkan hasil analisis, ternyata di negeri ini telah dan akan kehilangan kegiatan ekonomi yang berasal dari nilai tambah industri feedlot sekitar Rp. 16,4 triliun pertahun, dan impor sapi bakalan senilai Rp. 35 T. Jumlah tersebut berasal dari omzet bisnis 14 perusahaan feedlot senilai Rp. 2,3 T yang sudah tidak berusaha, dan 29 Feedlot senilai Rp. 14,1 T menunju kebangkrutan. Selain itu, sekitar 20 ribuan orang akan kehilangan pekerjaannya, berkurangnya ketersediaan pupuk kandang, dan pendapatan petani lokal Rp. 6,3 T. Data tersebut, belum menghitung kerugian ekonomi masyarakat akibat keterkaitan bisnis ini  terhadap 120 sektor perekonomian (ke hulu dan hilir), paparnya kepada Bisnis Bandung (BB), di Bandung.

Rochadi Tawaf pun menegaskan, membangun kembali peternakan sapi, dapat dilakukan melalui kegiatan strategis, antara lain: (1) Stop distribusi daging kerbau untuk masyarakat (di pasar tradisional). Daging kerbau hanya diperuntukkan bagi industri prosesing daging. Industri ini, memerlukan bahan baku yang murah harganya agar berdaya saing. Pasalnya, importasi daging kerbau berdampak negatif terhadap pengembangan peternak sapi di dalam negeri (Daud, 2019). Selain itu, tujuan importasi daging kerbau untuk menurunkan harga daging sapi tidak pernah tercapai. (2) Harmonisasi kebijakan pembangunan peternakan sapi, khususnya beberapa kebijakan yang sifatnya kontra produktif terhadap pembangunan peternakan. Misalnya, kebijakan larangan penggunaan hormone pertumbuhan bagi sapi. Sementara itu, kita melakukan importasi dari negera-negara yang meggunakan hormone. (3) Kebijakan mengeksport hasil ikutan pertanian (boleh di eksport jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi), misalnya hasil ikutan industry kelapa sawit. (4) Pemerintah jangan lagi mengandalkan peternakan rakyat untuk melakukan kegiatan usaha pembiakan secara nasional. Kebijakan ini perlu direorientasi bahwa kegiatan pembiakan merupakan tugas pemerintah diserahkan kepada korporasi yang memanfaatkan lahan bekas tambang dan integrasi usaha Sapi–Sawit. Kebijakan ini, akan mengubah arah pengembangan peternakan sapi secara nasional, karena penyediaan sapi bakalan dilakukan oleh korporasi yang lebih menjamin keberhasilannya ketimbang dilakukan oleh peternakan rakyat. Akibat kebijakan ini, akan mengubah pula arah wilayah pengembangan dari sentra-sentra konvensional yang selama ini di andalkan (Jawa, Bali, NTB, NTT) ke wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, serta pulau-pulau kosong yang terjamin ketersediaan pakannya. (5) fasilitasi alternative importasi sapi bakalan dari beberapa Negara, sesuai dengan protocol kesehatan OIE, (6). Selama ini kebijakan pemerintah mengenai pengembangan sapi sawit dikeluarkan oleh kementrian yang diawali oleh kementrian BUMN (era nya Dahlan Iskan) dan kementrian pertanian. Namun, semuanya tidak berjalan, oleh karena itu diperlukan kebijakan yang ditetapkan oleh presiden, berupa keputusan/peraturan presiden,  pungkasnya kepada BB.  (Dadan Firmansyah --- E-018)****

Tags

Terkini