Bisnis Bandung,(BB) – Guru Besar Emirtus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Ir. Maman Haeruman K. MSc., mengemukakan, dampak dari pemberlakuan PPKM darurat terhadap sector pertanian terkait dengan pertanian sebagai kegiatan sector budidaya tanaman yang memerlukan input-input, maupun penyaluran outputnya dalam system pemasaran yang berlaku. Penyaluran input maupun penyaluran output merupakan rangkaian kegiatan dari pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemindahan barang dari satu tempat ketempat lainnya. Alat dan infrastruktur transportasi jelas berpengarah terhadap kelancaran penyaluran barang-barang input maupun output.
Dalam pembudidayaan tanaman, ternak maupun ikan, input dan output yang disalurkan bulky, besar-makan tempat dan berat. Pemindahannya memerlukan tenaga kerja manusia dan alat. Kalau kegiatan-kegiatan itu dibatasi, tentu akan berpengaruh pada kelancaran penyaluran, bisa menjadi lebih lama. Waktu dan biaya akan meningkat –time is money-! Ekonomi pertanian biaya tinggi tak bisa dihindari, ujungnya harga input yang diperlukan petani menjadi lebih mahal, demikian pula harga outputnya yang dibeli konsumen bisa lebih mahal pula, tegasnya kepada Bisnis Bandung (BB), di Bandung.
Jika dibandingkan dengan sebelum diberlakukan PPKM darurat tentu berbeda, sesuatu yang biasanya tersalur lancar menjadi lambat dan lebih mahal. Dampak dari kondisi semacam ini bisa berakibat pada daerah-daerah lainnya karena produk-produk pertanian itu ada yang dari Jawa dan Bali disalurkan keluar Jawa – Bali atau sebaliknya. Dari sisi input pertanian, pupuk dihasilkan oleh PUSRI Pelembang- Sumatra Selatan dan dari Kalimantan Timur – pupuk Kaltim. Kalau kegiatan penyalurannya terganggu, pupuk yang diperlukan petani Jawa dan Bali bisa lebih lambat diperolehnya dan harganya jadi lebih mahal!
Dikatakan Prof. Dr. Ir. Maman Haeruman K. MSc, dari paparan terdahulu, pemberlakuan PPKM darurat ini akan mengganggu produksi maupun pendistribusian pangan di tanah air. Demikian pula dengan ekspor/impornya, karena karakteristik keberadaan produksi pertanian itu tersebar, jadi pemasoknya juga tersebar luas!. Kalau kegiatan dibatasi, maka penyaluran produk pertanian yang akan diekspor menjadi lebih lama dan bisa lebih mahal. Akibatnya daya saing produk pertanian yang diekspor menurun. Sementara untuk produk pertanian yang diimpor, jatuhnya kepembeli/konsumen di tanah air bisa lebih mahal pula.
Pakar Pertanian Unpad itu mengatakan, kebijakan yang harus digulirkan oleh Pemerintah harus realistis mempertimbangkan dampak negative yang dirasakan oleh para petani sebagai produsen produk pertanian, maupun dampak harga yang lebih mahal di tingkat konsumen dan masyarakat keseluruhan. Kebijakan mengatasi ekonomi biaya tinggi tidak mudah, tapi tidak bisa dihindari!. “Dan kalau menyangkut pangan pokok beras, gejolak peningkatan harganya di masyarakat akan meresahkan. Apalagi dalam masa sulit akibat pandemic Covid 10 sekarang ini yang berakibat pada pengangguran yang meningkat, berujung pada kebutuhan subsidi uang yang meningkat pula!. Kalau sampai harus ditutupi melalui pinjaman - utang, masyaallah betapa besarnya utang kita!!”tegasnya kepada Bisnis Bandung (BB), di Bandung.
Dengan adanya PPKM darurat, lonjakan angka konsumsi pangan bisa terjadi karena di kalangan masyarakat ada kekhawatiran terjadi lonjakan harga pangan lebih lanjut. Jadi untuk berjaga-jaga, terutama terkait pangan pokok beras, mereka berusaha untuk membeli dalam jumlah banyak agar punya cadangan simpanan. Dampak negative terjadinya penimbunan komoditas pangan bisa saja terjadi. Dikalangan para pemasok, bandar-bandar yang punya cadangan pangan yang ditimbun di gudangnya,bisa saja mereka lakukan dengan harapan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi di kemudian hari karena harga pangan jadi lebih mahal, pungkas Prof. Dr. Ir. Maman Haeruman K. MSc, kepada BB. (E-018)***