nasional

Rozy : Tingginya Penembakan Telah Dilaporkan Terdapat 651 Kasus Kekerasan Oleh Polisi

Kamis, 1 Juli 2021 | 15:15 WIB
kontras

BISNIS BANDUNG - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkapkan, dalam kurun waktu Juni 2020 sampai Mei 2021, terjadi 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota polisi. Anggota Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras, Rozy Brilian mengatakan,  tindak kekerasan paling banyak terjadi di adalah tingkat Polres.

"Dari 651 ini, 135 kasus terjadi di tingkat Polda, 399  di tingkat Polres dan 117 kasus di tingkat polsek," kata Rozy dalam konferensi pers 'Laporan Tahunan Bhayangkara' yang disiarkan secara daring, Rabu (30/6/2021.  Dijelakan Rozy , tindak kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan pada penanganan aksi kriminal, mencapai sebanyak 390 kasus.

Menurut catatan Kontras, aksi penembakan oleh polisi ini setidaknya telah menyebabkan 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka. Dicontohkan, yakni kasus penembakan Deki Susanto, buron kasus judi di Solok Selatan, Sumatera Barat. Deki ditembak mati oleh oknum polisi, Brigadir K, pada 27 Januari 2021. "Tingginya angka penembakan telah dilaporkan Kontras pada tahun-tahun sebelumnya , tapi tidak ada perbaikan signifikan," ujar Rozy.  Hal ini disebabkan minimnya evaluasi penggunaan senjata api di tubuh Polri. Padahal,  ada Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM oleh Polri dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. "Tapi tidak pernah jadi acuan atau pertimbangan bagi kepolisian sebelum mengambil tindakan yang dianggap perlu," katanya. Bentuk tindak kekerasan lain yang banyak dilakukan anggota kepolisian adalah penangkapan sewenang-wenang sebanyak 75 kasus, penganiayaan sebanyak 66 kasus, dan pembubaran paksa sebanyak 58 kasus.

Meminta maaf

Sebelumnya  Dewan Pers mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta maaf dan mencabut Surat Telegram Kapolri terkait kegiatan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi dalam program siaran jurnalistik. "Dewan pers mengapresiasi koreksi dan permintaan maaf kapolri atas telegram tersebut," tutur Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers,  Arif Zulkifli   , April  2021 lalu .  Arif mengimbau Polri ke depannya lebih hati-hati dalam mengeluarkan aturan internal yang berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pers. Meskipun ditujukan untuk kalangan internal Polri, Arif menilai Surat Telegram Kapolri yang salah satu poinnya melarang media massa menyiarkan tindakan kekerasan dan arogansi anggota polisi itu, berpotensi membatasi kebebasan insan media. Arief khawatir Surat Telegram Kapolri itu dipraktekan secara berbeda oleh aparat kepolisian di daerah. "Meski merupakan telegram untuk kepentingan internal, telegram yang dicabut itu berpotensi membatasi kebebasan pers. Di tingkat pelaksanaan, telegram semacam itu dapat dipraktekkan berbeda oleh kapolda dan aparat kepolisian di daerah," ujarnya. Arif juga akan membuka ruang apabila Polri mau melakukan diskusi dengan Dewan Pers. Hal ini dimaksudkan agar ada pemahaman bersama terkait kebebasan pers. "Dewan pers juga dapat memfasilitasi diskusi Polri dgn konstituen dewan pers dan komunitas pers lainnya demi tercapainya pemahaman bersama tentang pentingnya kebebasan pers dalam demokrasi," ucapnya. Polri telah mencabut Surat Telegram Kapolri yang salah satu poinnya melarang media massa menyiarkan tindakan kekerasan dan arogansi anggota polisi setelah mendapatkan kritik publik. Pencabutan tersebut dituangkan melalui Surat Telegram ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 bertanggal 6 April 2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Dalam telegram tersebut, ada 11 aturan tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik. Kapolri meminta maaf soal surat telegram itu. Sigit memahami mengenai timbulnya penafsiran yang beragam terhadap surat telegram itu. "Mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan institusi Polri agar bisa jadi lebih baik," ujar Sigit dalam keterangannya, beberapa waktu lalu . (B-003) ***

Tags

Terkini