nasional

Krisis Ekonomi 1998 Tidak Separah Saat ini Imbas Covid 19 Berbahaya Menjurus Ke Depresi Ekonomi

Sabtu, 9 Mei 2020 | 09:24 WIB
Krisis Ekonomi 1998 Tidak Separah Saat ini Imbas Covid 19 Berbahaya Menjurus Ke Depresi Ekonomi

BISNIS BANDUNG -  Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengakui , krisis ekonomi yang terjadi saat ini di Indonesia imbas dari pandemi virus corona (Covid-19) lebih parah dari krisis ekonomi yang terjadi pada 1998. Menurutnya,, saat krisis 1998 hanya pelaku ekonomi besar saja yang merasakan dampak paling fatal. Berbeda dengan krisis ekonomi saat ini. "Dulu tahun 98, 97 krisis ekonomi kita tidak separah sekarang, karena waktu itu hanya pelaku ekonomi besar saja yang kena dampak sangat fatal, karena mereka ketergantungan terhadap bahan baku impor kemudian kurs dolar dengan rupiah terjun  bebas," kata Muhadjir dalam sebuah webinar melalui zoom, Rabu (6/4)

Dikatakan, pada 1998, pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang ada di Indonesia masih perkasa. Namun saat ini, menurut Muhadjir, justru para pelaku UMKM yang ambruk terlebih dahulu. "Sekarang sebaliknya justru UMKM yang paling remuk duluan, karena tiba tiba mereka tidak bisa berjualan, tidak ada lagi daya beli masyarakat, tiba tiba ambruk," ujarnya.

Dikatakan, penataan ekonomi di Indonesia harus dilakukan secara perlahan-lahan selepas pandemi virus corona.  "Jangan sampai menjurus ke arah resesi atau depresi ekonomi yang berbahaya terhadap masa depan kita," ucap Muhadjir menambahkan.

Tidak cukup

Dilansir CNN Indonesia , Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku,  bahwa anggaran perlindungan sosial pemerintah sebesar Rp110 triliun tidak cukup untuk mengangkat konsumsi masyarakat di tengah wabah virus corona. Apalagi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pengakuan ini berkaca pada realisasi pertumbuhan ekonomi nasional yang cuma 2,97 % pada kuartal I 2020. Padahal, biasanya ekonomi tiga bulan pertama bisa menyentuh kisaran 4,9  sampai 5 %.

Dari realisasi itu, laju konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84 % dari biasanya mencapai 5 %. Bila dikonversi menjadi Produk Domestik Bruto (PDB), Sri Mulyani memperkirakan sumbangan konsumsi rumah tangga seharusnya mencapai Rp 9.000 triliun, sekitar Rp5.000 triliun di antaranya berada di Jawa.

Namun, kondisi pandemi corona yang membuat mobilitas masyarakat terhambat dipastikan menggerus nilai konsumsi yang mencapai Rp5.000 triliun itu. Sebab, pandemi membuat masyarakat tidak bisa keluar rumah untuk menggunakan uangnya serta ada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Kalau Jakarta dan Jawa PSBB-nya meluas, sudah pasti konsumsi tidak tumbuh, bahkan kontraksi. Kalau ada Rp5.000 triliun di Jawa, maka bansos Rp110 triliun tidak bisa mensubtitusi penurunan konsumsi dari Rp5.000 triliun tersebut," ujar wanita yang akrab disapa Ani ini saat rapat bersama Komisi XI DPR, Rabu (6/5).

Menurut Ani, bantalan perlindungan sosial Rp110 triliun dari pemerintah hanya mampu mengurangi sedikit beban masyarakat. Hanya untuk membeli makan,  tak bisa berbelanja. Lebih lanjut Dikemukakan Ani , turunnya laju konsumsi rumah tangga dipastikan tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan setidaknya berada di kisaran 2,3 % pada tahun ini. Bahkan, menurut mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu, bayang-bayang perekonomian dengan skenario terburuk tumbuh minus 0,4 % kian nyata. "Ini akan masuk dalam skenario sangat berat, mungkin saja terjadi dari 2,3 % menjadi minus 0,4 % apabila di kuartal ketiga dan keempat tidak mampu recover atau pandemi menimbulkan dampak yang panjang," tambahnya. (B-003) ***

Tags

Terkini