BISNIS BANDUNG --- Pengamat ekonomi perdagangan internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Yayan Satyakti, Ph.D mengungkapkan, kasus ketahanan pangan di Indonesia terbesar terjadi pada impor komoditas jagung. Padahal ketahanan pangan yang kerap terjadi setiap tahun adalah beras, gula pasir, daging sapi, kedelai dan garam. Beberapa bulan ke depan menjelang bulan Ramadhan masalah klasik yang dihadapi adalah mahalnya harga daging.
Menurut Yayan, untuk mengamankan pasokan pangan pada tahun 2019 Kementerian Pertanian berencana mengimpor daging sapi sebanyak 256.000 ton dari perkiraan kebutuhan daging sapi nasional pada tahun 2019 sekitar 686 .000 ton. Jumlah tersebut meningkat 4% dari tahun 2018 sebanyak 662,54.000 ton. Sejak tahun 2013 – 2016 kebutuhan daging sapi nasional berada dikisaran antara 552.000 ton sampai 635.000 ton.
Dikemukakan Yayan, jika dibandingkan dengan stok produksi, kemampuan produksi nasional periode 2013-208 mengalami penurunan dari 504.000 ton menjadi 496.000 ton. Peningkatan siginifikan hanya terjadi di tahun 2016 sebesar 518 .000 ton. Sejak tahun 2016 total kebutuhan domestik melonjak secara signifikan sekira 14% dari 556 .000 ton pada tahun 2015 menjadi 635.000 ton. ”Kesenjangan antara produksi dan konsumsi terus meningkat dari 18% pada tahun 2016 menjadi 25,09% pada tahun 2018. Berdasarkan estimasi Kementan pada tahun 2019 akan meningkat 37%,” ungkap Yayan pekan ini kepada BB di Bandung.
Yayan Satyakti menyebutkan, rasio kekurangan produksi dan konsumsi , terletak pada selisih antara produksi dengan jumlah konsumsi. Rasio ini menunjukkan seberapa besar Indonesia kekurangan produksi terhadap total konsumsi. Jika nilai rasio ini semakin tinggi, Indonesia akan semakin tergantung pada impor. Semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap impor, lanjut Yayan, mengindikasikan Indonesia memiliki masalah dalam produksi. Permasalahan ini disebabkan tingginya biaya pemeliharaan sapi, karena sapi di Indonesia dipasok dari peternak skala UMKM.
Dengan skala tersebut, biaya peternakan lebih tinggi dibanding dengan sistem skala besar. Oleh sebab itu, perlu keseriusan pemerintah untuk membuka investasi peternakan skala besar yang dapat menekan ongkos pemeliharaan ternak sapi. "Walaupun saat ini, harga impor dapat memberikan stabilisasi pasokan di tanah air dengan harga lebih murah dibandingkan harga domestik. Masyarakat Indonesia akan rentan terhadap perubahan harga kurs, biaya logistik internasional dan negosiasi internasional,"tutur Yayan
Berdasar data terbaru BPS tertanggal 26 Februari 2019, impor daging sapi Indonesia pada tahun 2017 mencapai 160.000 ton. Australia menjadi negara importir terbesar yang mensuplai daging sapi ke Indonesia, mencapai 53%, disusul oleh Amerika Serikat 9%, Selandia Baru 8.5%, sisanya sekira 29,3% dari Jepang, Malaysia dan Singapura. Harga daging sapi impor/kg, selama periode 2013 – 2018, rata-rata US$ 4.2 – 4.5/kg. Untuk harga daging sapi berdasarkan harga pasar di Australia dan Selandia Baru pada bulan Januari sebesar US$ 4.2/kg. Jika kita konversikan dengan 1US$ = Rp14.000,00 maka harganya Rp 58.800,00/kg. ”Dan jika kita bandingkan lagi dengan harga pasar, pedagang eceran menjual daging sapi antara Rp115.000,00 – Rp125.000,00,” pungkas Yayan. (E-018)***