BISNIS BANDUNG- Hubungan bilateral antara Indonesia-Tiongkok mendorong terjadinya defisit perdagangan sangat besar yang ditanggung Indonesia karena ketergantungan yang sangat tinggi atas produk primer dan sekunder asal RRC yang harganya sangat berdaya saing.
Dikemukakan anggota delegasi Indonesia di Asean Regional Forum (ARF), Teuku Rezasyah Drs.,M.A.,Ph.D , hubungan antara Indonesia-RRC, dipayungi oleh dokumen Strategic Comprehensive Partnership yang mencakup banyak aspek, lintas di tingkat nasional dan daerah. Secara Hubungan Internasional, kedua negara sangat diuntungkan. Ketokohan Indonesia di ASEAN, GNB, OKI, APEC, BDF dan PBB, dengan politik luar negerinya yang terukur, mengedepankan musyawarah dan cinta damai sangat dihargai oleh RRC. Indonesia yang ekonominya sedang berkembang menurut Teuku , membutuhkan investasi asing di sektor pertambangan dan infrastruktur yang diapresiasi pemerintah RRC dan dunia usaha asal RRC karena memiliki SDM, dana, teknologi, manajemen dan jaringan siap pakai serta sanggup menghasilkan produk yang tepat waktu.
Teuku Rezasyah menyebut, kontribusi dari hubungan bilateral RI-RRC yang baik adalah terpeliharanya kawasan Asia Tenggara yang damai, sesuai harapan dalam ASEAN Charter. Dampak negatifnya yang terjadi saat ini adalah kesulitan dalam menangani hubungan yang mendadak sangat kompleks, karena RRC melibatkan sangat banyak warganya. Seperti , Presiden, Perdana Menteri, Kementerian Teknis, Ketua Partai, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga riset dan asosiasi bisnis. Dalam kekagetan inilah, ujar Teuku , pemerintah daerah dengan otonomi daerah, merasa bangga menjalin kerjasama internasional, tanpa menyadari ada kewajiban berkonsultasi dengan Kementerian Luar Negeri RI dan diperburuk oleh target pencapaian kepala daerah yang merasa bangga menandatangani perjanjian tertentu dan menjadikannya sebagai indikator kinerja.
Teuku menyebut keunggulan RRC dalam kecepatan menjalin kerjasama teknis, infrastruktur dan enerji, karena semua ”aktor” di dalam negeri RRC sudah satu persepsi. Dalan hal ini, para ”aktor” termasuk lembaga perbankan RRC, sangat mempercayakan pemerintah pusat di Beijing mengendalikan kerjasama yang mereka buat. Juga sistem pelaporan internal dikalangan mereka sangat terkoordinir. ”Sementara pada waktu bersamaan, pemerintah pusat kita di Jakarta seringkali membutuhkan waktu untuk mengetahui perkembangan kerjasama yang dilakukan di tingkat provinsi/kabupaten/kota, termasuk nilai tambahnya bagi pembangunan,” tutur Teuku.
Kedepannya, lanjut Teuku , dari pihak RI agar terlebih dahulu melakukan studi kelayakan yang Bottom-Up, berbasis konsultasi dengan masyarakat umum, dan meninjau relevansinya dengan RPJM, RPDP dan komitmen Sustainable Development Goals (SDG) . Dikemukakan Teuku , hubungan Indonesia dengan RRC harus dipertahankan, namun harus dievaluasi terus- menerus agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan Indonesia , terutama pada sektor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup serta pertahanan keamanan
Hubungan dengan RRC telah mempengaruhi kiprah Indonesia karena RRC sudah menjadi negara unggulan dunia, sangat berperan dalam pembangunan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. ” Mengingat status RI sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB sejak 1 Januari 2019 mendatang, maka ide-ide perdamaian, kerjasama, pembangunan dan keamanan yang diajukan Indonesia di tingkat global, membutuhkan dukungan RRC yang merupakan anggota tetap DK PBB,” ujar Erie , belum lama ini. (E-018)***