KONON nilai ekspor pada September 2018 sebesar 14,83 miliar dolar AS, mengalami penurunan 6,58 persen dari Agustus sebesar 15,87 miliar dolar AS.
Kalau memang begitu, saya meminta pemerintah mengartikan penurunan ekspor tersebut bukan lantaran adanya pengaruh perang dagang (trade war) global yang berdampak pada penyusutan permintaan negara tujuan ekspor.
Pemerintah diharapkan harus tetap mampu menggerakkan ekspor. Jangan sampai pengusaha kehilangan gairah mengekspor. Pelaksanaan pengembangan ekspor ini harus gerak. Kegiatan ekspor justru harus mengakar menjadi sebuah gerakan ekspor nasional.
Penurunan ekspor di tengah rupiah melemah hingga level Rp15 ribu bisa mengindikasikan gairah ekspor mulai menurun. Memang umumnya, eksportir akan lebih diuntungkan ketika rupiah melemah, karena untung dari hasil ekspor dalam bentuk dolar akan bernilai lebih tinggi jika dikonversi dalam bentuk rupiah.
Sudah saatnya kita memanfaatkan momen tersebut bekerjasama dengan berbagai pihak untuk gerakan ekspor nasional, tidak hanya sebatas mengadakan pameran dan pencitraan. Di sini tidak bisa lagi kita bekerja sendiri-sendiri. Tidak seperti belakangan ini pengembangan ekspor masih bekerja sendiri-sendiri. Dengan kata lain, semangat bersama untuk gerakan ekspor nasional belum berarti.
Kita menghargai adanya insentif fiskal dalam bentuk tax holiday (pembebasan pajak) ataupun tax allowance (pengurangan pajak) untuk investor yang diharapkan menstimulasi ekspor, namun realitanya belum dapat berdampak riil untuk mendorong ekspor.
Insentif fiskal itu tidak sampai ke bawah. Hanya bisa untuk mendorong ekspor di perusahaan multinasional atau sifatnya hanya parsial [tertentu] saja.
Ayo kita mengadakan gerakan ekspor nasional dengan fokus ke empat sektor utama, yaitu makanan-minuman, fesyen, kerajinan/furnitur, dan kemaritiman. Sebab, bahan baku, proses produksi ada di dalam negeri. Hayu ah !
Dani Badil, Cijerah Bandung