Oleh Zaumi Sirad
SEBERAPA besar tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik semacam Parpol dan DPR? Jajak pendapat Charta Politica yang dihelat pada akhir Agustus 2018 menjadi kabar buruk untuk parpol. Sebanyak 45,8 persen responden menilai partai politik adalah lembaga yang tidak bisa dipercaya. Sungguh besar persentasenya. Sementara responden yang masih meyakini bahwa Parpol layak dipercayai hanya 32,5 persen, dan yang tidak menjawab 15,9 persen.
Tak sulit melihat bagaimana dukungan parpol terhadap gerakan anti korupsi. Dengan sebaran media massa, masyarakat bisa melihat berapa banyak kader parpol yang tersangkut kasus korupsi. Patgulipat antara anggota parlemen yang menyusun anggaran atau menggunakan pengaruh politiknya, penjabat pemerintah dan pihak swasta pelaksana proyek sering menjadi sasaran penangkapan aparat KPK.
Bancakankorupsi yang melibatkan DPRD baru-baruini di Malang menjadi bukti yang menjijikkan. Ini seperti melengkapi kasus rasuah lain yang menurunkan kredibilitas parlemen yang memang sudah buruk itu.
Hal lainnya soal isu-isu yang disampaikan anggota DPR ketika berhadapan dengan pemerintah atau media. Tak banyak yang mengedepankan aspirasi yang menjadi concern permasalahan di masyarakat, semisal diskriminasi akses publik untuk penyandang cacat, ketersediaan pendidikan yang murah, pemberian modal kerja dengan bunga rendah bagi pengusaha kecil, makanan sehat untuk anak sekolah, dan sebagainya.
Ibarat jauh panggang dari api, para legislator lebih riuh bersilat kata untuk hal-hal yang remeh; mengkritik pencitraan Presiden, bahkans ebagian ikut menyebarkan berita hoax untuk menyerang pemerintah atau oposisi, dan sebagainya. Terkesan kapabilitas mereka hanya habis terserap oleh hal-hal tak penting. Tidak mencerminkan samasekali aspirasi masyarakat
Ini yang mesti diubah. Lembaga legislatif wajib kembali kefungsinya sebagai perwakilan rakyat yang fokus pada kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Bagi yang berasal dari wilayah yang penduduknya adalah petani dan nelayan, anggota parlemen wajib mencari cara untuk mempermudah konstituennya meningkatkan pendapatnnya, atau setidaknya memangkas banyak hambatan yang menurunkan produktivitas mereka.
Bagi anggota DPR yang diangkat dari kota yang kumuh dan padat, marilah focus menyelesaikan persoalan sampah, resapan air, banjir, kemacetan dan sebagainya. Jangan sampai anggota parlemen malah telaten menisik anggaran dan pembagian proyek. Menguliti anggaran itu perlu bagi mereka agar fungsi control tetap ada, tapi tak mesti ikut bancakan menikmati sekian persen dari dana yang disetujui. Ini hanya akan menyeret mereka kekonflik kepentingan berujung kasus rasuah yang merugikan bukan saja diri sendiri, tapi juga keluarga dan masyarakat.
Sebagai pembanding kinerja, hanya ada empat RUU yang dihasilkan oleh DPR pusat selama kurun tahun 2018 dari target prioritas legislasi 2018 yang keseluruhan berjumlah 50 RUU, seperti dilaporkan oleh Formappi dalam "Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang V Tahun Sidang 2017-2018," pertengahan Agustus 2018 lalu. Ini menunjukkan kinerja yang buruk dalam fungsi legislasinya.
Kebaruan dari PSI
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hadir dengan tagline yang mencitrakan kebaruan; muda, terbuka dan progresif. Muda mencerminkanbahwa PSI tak punya mata rantai dengan perilaku koruptif masa lalu. Selain tak terkait dengan kasus-kasus korupsi di masa lalu, kami juga tak punya beban sejarah terutama kejahatan HAM di masa OrdeBaru.
Anak-anakmuda yang lahir dari rahim reformasi ini bias leluasa mengajukan program yang konsisten dengan ideologi Pancasila. Terbuka dan progressif menandakan bahwa PSI siap menjadi corong aspirasi masyarakat, tak peduli apakah mereka konstituen atau bukan. PSI yang tak hanya bermodal wajah segar dan menarik, juga punya kesegaran dalam berpikir, selain cekatan menyerap aspirasi.