nasional

Alih Usaha Petani Tembakau

Minggu, 5 November 2017 | 06:45 WIB
opini anda

SAMPAI sekarang, daun tembakau dan produk tembakau Indonesia menempati peringkat pertama dunia. Daun tembakau Indonesia sangat dominan di pasar tembakau internasional. Begitu pula produk tembakau terutama rokok masih menguasai pasar internasional di sam­ping konsumsi rokok nasional yang juga terbesar di dunia. Namun kalau kita amati kehidupan petani tembakau sangat memprihatinkan. Secara ekonomi, kehidupan petani tembakau jauh di bawah para pengusaha rokok.

Majunya industri rokok di Indonesia tidak berbanding lurus dengan kehidupan para petani tembakau. Masalahnya, produksi rokok di Indonesia didominasi tembakau impor. Munurut Yusnan Syaukat dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dimuat PR (30/10), industri rokok Indonesia menggunakan tembakau impor sampai 74%.

Artinya daun tembakau yang diserap pabrik rokok nasional hanya sekira 20 – 25 persen saja. Hasil panen daun tembakau tahun 2015 mencapai 202.000 ton dari luas tanaman 218.000 hektar. Jumlah petani tembakau saat ini 567.000 keluarga. Hasilnya tidak semuanya terserap pasar.

Para petani tembakau makin hari makin merasa cemas, produksinya akan mubazir, selain tidak terserap pabrik, juga makin tidak ”disukai” orang. Penentangan terhadap rokok tampaknya semakin gencar.

Bukan hanya dilakukan LSM anti-rokok, tetapi juga pemerintah, melalui Kementrian Kesehatan mengkampanyekan antiasap rokok. Namun pemerintah belum secara tegas melarang produksi rokok.

Pemerintah masih mengandalkan pendapatan negara dari cukai rokok yang cukup besar. Tahun 2016, pemerintah mendapatkan Rp 144 triliun dari cukai rokok. Tahun 2017 ini ditargetkan mendapat Rp157 triliun.

Dana sebesar itu dapat membantu pemerintah dalam mencicil utang luar negeri yang jatuh tempo. Akan tetapi di pihak lain, pemerintah—melalui Kementrian Kesehaatan merilis angka yang kontroversial. Menurut Menkes, Indonesia harus mengeluarkan dana sampai Rp378,75 triliun pertahun untuk pengobatan penyakit masyarakat akibat asap rokok.

Konsumen rokok terbesar di Indonesia justru masyarakat perdesaan yang pendapatnya jauh di bawah masyarakat kota. Hal itu berarti, pe­ngeluaran pemerintah akan lebih besar karena masyarakat perdesaan berkemampuan rendah untuk keperluan kesehatannya.

Pemerintah masih memerlukan waktu dan menunggu hasil kajian yang lebih koperhensif tentang produksi dan dampak rokok terhadap masyarakat. Pemerintah juga masih harus mencari jalan agar penghasilan yang didapat dari cukai rokok tidak hilang begitu saja.

Masalah lain yang lebih kompleks ialah masalah ketenagakerjaan. Pabrik rokok masih merupakan industri padat karya yang mampu mempekerjakan puluhan ribu orang. Moratorium produksi rokok, akan menjadi bumerang dengan makin meningkatnya angka pengangguran.

Untuk menjawab problem yang dilematis itu pemerintah harus segera menata perdagangan tembakau. Impor tembakau kalau mungkin diubah menjadi ekspor tembakau. Pemerintrah juga diharapkan mengumpulkan para ahli dari semua perguruan tinggi. Mereka diminta melakukan penelitian dan percobaan membuat ferivikasi produk tembakau.

Tembakau hasil petani nasional dimanfaatkan bukan hanya untuk produksi rokok tetapi produk lain yang benilai ekonomis. Mi­salnya industri parfum, obat-obatan, pelumas, atau produk lain yang bermanfaat. Para petani tembakau mendapat pendampingan dalam mengalihkan pertaniannya dari menanam tembakau ke komoditas lain yang jauh lebih aman.

(Furkon)***

Tags

Terkini