nasional

Setelah 72 Tahun Merdeka

Minggu, 20 Agustus 2017 | 09:45 WIB
opini anda

BARU  saja bangsa Indonesia menyaksikan sekelompok muda-mudi dengan penuh semangat, melakukan upacara bendera. Upacara yang dilakukan tiap tahun sebagai peringatan ”Detik-detik Proklamasi” selalu membuat kita bangga. Kita masih memiliki generasi muda yang peduli terhadap proklamasi kemerdekaan RI. Banyak pula di antara kita yang tidak kuasa menahan air mata, mengenang masa-masa sulit merebut kemerdekaan. Pada layar imajiner mereka tergambar betapa para pemuda, seusia para pengerek  bendera itu, berjuang mengangkat senjata, melawan penjajah. Menyerahkan jiwa dan raga mereka hanya untuk kemerdekaan.

       ”Ambil nyawaku ke sinikan kemerdekaan!”

       ”Kusiram Ibu Pertiwi dengan darah dan air mata agar bangsa Insdonesia tumbuh

         subur di atas tanah merdeka.”

       ”Merdeka atau mati!”

dan ribuan lagi pekik merdeka yang dikumandangkan bangsa Indonesia di seluruh Tanah Air.

Tentu saja layar imajiner semacam itu tidak dimiliki sebagian bangsa ini yang lahir kemudian. Wajar saja apabila gambaran proklamasi dan perjuangan penuh darah, pertempuran yang tidak seimbang antara para pejuang dengan kaum penjajah, tidak tampak. Pada layar itu tidak tambak sama sekali, rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Betapa penduduk kota harus berjalan beratus kilometer, menuju tempat-tempat pengungsian di balik gunung tanpa bekal apa-apa, sekadar penawar lapar.

Perjuangan panjang sejak zaman Diponegoro, Hasanudin, Imam Bonjol,Teuku Umar, Tengku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, dan sebagainya yang melawan Belanda dengan mengangkat senjata, meski hanya sebentuk keris atau  rencong. Dilanjutkan dengan perjuangan politik sejak Zaman  Pergerakan, Sumpah Pemuda, perjuangan diplomatik yang kemudian harus dilanjutkan lagi dengan perlawanan fisik.

Semua rangkaian perjuangan itu sungguh tidak sia-sia. Atas ridlo Allah SWT, akhirnya Indonesia menjelma menjadi sebuah negara. Republik Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945. Hari yang sekarang tengah kita peringati dengan penuh rasa syukur. Indonesia tidak mungkin meredeka tanpa perjuangan. Namun Indonesia tidak akan meredeka tanpa kehendak dan ridlo Tuhan Yang Mahaesa. Tugas kita sekarang, mensyukuri ridlo-Nya dan berterima kasih kepada para pejuang dengan mendoakan mereka diterima Allah SWT sebagai suhada Perjuangan para pahlawan sudah selesai. Mereka telah menghantar Tanah Air ini menjadi sebuah negara yang besar.

Sekarang Repbulik ini berusia 72 tahun. Apabila diterapkan kepada manusia, usia 72 tahun itu, cukup renta. Orang itu sudah benar-benar matang kalau tidak uzur atau sakit-sakitan. Namun bagi sebuah negara, usia itu amat sangat relatif. Banyak negara yang merdeka berpuluh tahun masih harus digolongkan sebagai negara belum terbangun, tertinggal, atau terlilit utang. Ada pula beberapa negara yang hanya beberapa tahun saja sejak merdeka, tampak sekali kemajuannya. Mereka menjadi negara yang memiliki partumbuhan ekonomi fantastis, bahkan meninggalkan negara lain yang berusia lebih tua.

Lalu, di manakah Reublik Indonesia berada? Bukan kita yang menilainya. Penilaian datang dari berbagai lembaga atau badan dunia, bangsa dan negara lian. Indikatornya, antara lain pertumbuhan ekonomi, di samping berbagai indek pembangunan. Indonesia dinilai orang sebagai negara yang memiliki potensi sangat besar dalam berbagai bidang, termasuk industri dan perdagangan. Namun potensi itu belum dapat dipetik hasilnya secara signifikan. Pereklonomian Indonesia masih naik turun. Potensi majemuk yang kita miliki masih banyak yang tetap berupa potensi.

Secara politik Indonesia dalam usia 72 tahun sudah benar-benar merdeka. Kita punya hak penuh mengatur negara ini secara politik. Secara ekonomi, kita masih punya keterkaitan dengan negara lain. Hajat hidup bangsa kita masih banyak yang berada dalam kantung perekonomian negara lain. Karena itu kita masih belum punya daya saing yang kuat di pasar global. Kita harus akui, negara yang relatif muda usia seperti Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Vietnam, sudah mendahului kita dalam berbagai bidang. Negara-negatra itu, baik usia maupun potensi ekonomi, merupakan adi-adik Indonesia. Namun mereka sudah dapat digolongkan sebagai macan-macan Asia dan singa di ASEAN. Mereka dominan di pasar ASEAN dan mereka juga punya daya saing tinggi di pasar global.

Apa penyebab utama keadaan yang pincang seperti itu? Banyak orang kita yang piawai dalam melakukan penelitian politik apalagi menjelang pilpres atau pilkada. Tapi amat sedikit yang secara serius melakukan survey tentang apa dan mengapa pertumbuhan Indonesia agak lambat dibanding negara lain. Benarkah pembangunan infrastruktur merupakan satu-satunya jawaban atas pertanyaan tersebut?  Tantangan bagi para cerdik pandai negeri ini. ***

Tags

Terkini