nasional

Kemiskinan dan Konsumerisme

Rabu, 2 Agustus 2017 | 09:46 WIB
opini anda

DIBANDINGKAN dengan  keadaan bulan September 2016, awal tahun 2017 angka kemiskinan (AK) di Jabar menigkat.  Pada bulan Maret 2017 tercatat angka kemiskinan Jabar 4.168.440 jiwa. Sedangkan pada bulan  September 2016 tercatat 4.168.110 jiwa.  Secara nasional, penurunan AK akhir-akhir ini terus melambat, bahkan pada Maret 2017 terjadi penambahan penduduk miskin.

BPS Pusat mencatat, penduduk miskin Indonesia awal 2017 ada 27,77 juta orang, naik 6.900 orang dibanding September 2016. Di Jatim, justru terjadi penurunan AKdari 4,638 juita jiwa  pada September 2016 menjadi 4,617 juta jiwa pada Maret 2017. Kenaikan 6.900 jiwa secara nasional itu menandakan, upaya pemerintah menurunkan AK tahun ini belum berhasil.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)  Jabar, garis kemiskinan (GK) Jabar pada Maret 2017 setara dengan nilai uang Rp 345.427,00 perkapita perbulan. Ada kenaikan 3,71 persen dibandingkan standar September 2016 senilai Rp 332.119,00. Dalam konferensi pers di Bandung, Kepala BPS Jabar, Dody Harlando,  menyebutkan, terjadi pola penggunaan uang masyarkat miskin yang hampir sama di semua daerah di Indonesia. Di Jabar, belanja masyarakat miskin didominasi makanan, terutama beras,  23,20% di perkotaan dan 28,15% di perdesaan.

Kita memahami benar, pola konsumsi  yang didominasi makanan itu. Bagaimana pun beras masih merupakan konsumsi pokok. Rakyat miskin rela menjual harta benda yang mereka miliki untuk membeli beras. Artinya bantuan pemerintah berupa beras masih sangat diperlukan. Apabila mereka tidak harus mengeluarkan sebagian bersar uangnya untuk membeli beras, dampaknya akan sangat signifikan terhadap laju inflasi. Bantuan itu juga akan mengubah pola makan rakyat miskin. Mereka akan mampu membeli lauk pauk, terutama ikan,  sebagai upaya meningkatkan gizi masyarakat.

Pola konsumsi masyarakat miskin yang mencengangkan justru pengeluaran kedua setelah beras ialah rokok. Di Jabar persetase konsumsi rokok kretek filter mencapai 11,83 persen. Hal itu terjadi di masyarakat miskin perkotaan. Pola konsumsi masyarakat miskin di perdesaan juga hampir sama. Belanja beras 28,15%, rokok kretek filter 10,71%. Sedangkan untuk lauk pauk seperti daging ayam hanya antara 3,05% hinggta 4,47%. Pola konsumsi yang agak ”aneh”, selain mengonsumsi beras mereka juga membeli roti 3,68% dan mie instan 3,11%. Ketiga jenis makanan itu sama-sama mengandung karbohidrat. Luput dari catatan BPS, konsumsi sayur-mayur yang justru sangat penting sebagai pendamping karbohidrat.

Siapapun, termasuk pemerintah, kurang elok apabila harus melakukan intervensi terhadap pola makan masyarakat. Namun pola konsumsi yang kurang menyehatkan, apalagi besarnya konsumsi rokok, harus diarahkan. Pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat dapat melakukan edukasi terhadap masayarakat, terutama masyarakat miskin dalam penggunaan uang mereka. Pola konsumsi mereka harus segera diubah dengan pendekatan humaniora. Diharapkan ada lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau para sukwan yang memberi penerangan, pendidikan, dan pendampingan terhadap pola konsumsi masyarakat miskin.

Masyarakat perdesaan biasanya justru sangat akrab dengan sayur mayur, lalapan, ikan air tawar, dan rempah-rempah. Pola konsumsi dengan gizi seimbang itu justru lebih mudah dilakukan di perdesaan. Makanan nonberas tersedia dengan harga sangat murah seperti ubi jalar, ubi kayu, talas, dan umbi-umbian lainnya. Begitu pula sayur mayur dapat tumbuh dengan mudah di dalam pot, di pekarangan, ember bekas, kaleng bekas cat, dan sebangsanya. Mereka diajak menanam selada, bayam, sosin, dan sejenisnya. Daripada harus membeli roti apalagi rokok, lebih baik dibelikan bibit-bibit tanaman atau sedikit demi sedikit melengkapi peralatan pertanian hidroponik.

Tentu saja perubahan pola konsumsi itu tidak terlalu mudah dilakukan. Hal itu menyangkut  budaya dan gaya hidup atau kebiasaan. Mengubah kebiasaan di mana pun butuh modal, waktu, contoh, dan kesabaran. Sudah saatnya para ahli pertanian, pakar gizi, dan manajemen rumah tangga, terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat miskin. Mulailah dari balai desa. Kades atau lurah harus menjadi contoh bagi rakyat di wilayahnya. Tidak merokok, mau bercocok tanam, di pekarangan kelurahan, bersama-sama masyarakat, mencoba mengonsumsi ubi-ubian sebagai pengganti nasi.

Bupati dan jajarannya memacu para kades atau lurah mengubah pola konsumsi masyarakat di desanya, termasuk masyarakat miskin. Yang paling penting, perangkat desa mau  membawa masyarakat miskin ke tingkat masyarakat sejahtera. Setiap desa mendapat kucuran dana. Tanpa haruis menyalahi aturan pengguinaan uang, kladers dapagt mendirikan perushaan desa yang sesuai dengan kondisi desanya.                Ajaklah masyarakat setempat mengelola perusahaan tersebut semisal  sentra pembibitan ikan, sentra pembibitan sayuran, sentra pembibitan bunga potong, buah-buahan, penangkaran burung atau unggas, penggemukan ternak,  sentra kerajinan berbahan baku bambu, gulma, limbah industri, dan sebagainya. Mari kita mulai! ***

Tags

Terkini