nasional

Terampas, Hak Dasar Anak

Selasa, 1 Agustus 2017 | 16:17 WIB
opini anda

NABI Muhammad mengatakan pada salah satu hadisnya, orangtua tidak boleh meninggalkan tiga hal, antara lain,  anak-anak atau generasi yang lemah.  Hal itu disampaikan Nabi Muhammad 15 abad yang lalu. Selasa kemarin, 1.500 tahun kemudian, Deputi Perwakilan UNICEF untuk Indonesia, Lauren Rumble, mengatakan, ”Kerugian ekonomi yang sangat besar dapat ditimbulkan dari mengabaikan potensi seorang anak untuk dapat tumbuh sehat, bahagia, dan dengan pendidikan yang memadai.”  Ternyata ada relevansi atau benang merah yang terentang dari zaman Nabi Muhammad sampai hari ini yang berkaitan dengan anak-anak.

Generasi atau anak-anak yang lemah, seperti pendapat Nabi Muhammad, pada dasarnya merupakan akibat ketidakmampuan orangtua dalam membentuk anak-anaknya menjadi manusia yang kuat serta bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Generasi baru yuang lemah itu menurut sunnah Nabi ialah generasi yang lemah fisik, lemah pendidikan, terutama lemah pengetahuan agamanya. Menurut kacamata manusia modern sekarang, generasi lemah itu ialah generasi yang mengalami kekurangan gizi, tidak mendapat pendidikan yang memadai, tidak mendapat tuntunan dalam keimanan, ketakwaan, dan ilmu keagamaan serta ilmu pengetahuan.

Nabi ingin menekankan, generasi lemah yang ditinggalkan para orangtua, berakibat fatal bagi kehidupan dan kemajuan bangsa atau umat. Olehkarena itu orangtua wajib memberi makanan yang baik terhadap anak-anaknya, memberi pendidikan yang luas, dan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada anak-anaknya.  Nabi pernah menyatakan, ajaklah anak-anak kecil salat di mesjid, bangunkanlah anak-anak saat salat subuh. Apabila anak-anak itu sudah balig (akil-balig), ketika disuruh salat, ia tidak mau, orangtuanya berhak memukulnya dengan penuh kasih sayang. Hal itu ditekankan Nabi Muhammad agar anak-anak kelak menjadi generasi pengganti orang tua  yang benar-benar kuat, memiliki iman dan takwa yang mumpuni.

Sekarang anak-anak yang lemah, baik secara fisik maupun mental  semakin banyak. Kelemahan itu terutama akibat langsung dari kemiskinan. Sampai Maret 2016 di Indonesia terdapat 13,31 persen (sekira 11 juta anak)  yang hidup dalam kemiskinan. Jumlah anak di Indonesia hingga tahun 2016, tercatat ada 85 juta orang. Mereka digolongkan miskin karena mereka tinggal dalam rumah tangga yang memiliki tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan. Akibatnya, anak-anak pada golongan miskin itu terampas hak-haknya secata material, spiritual, dan emosional, dalam memenuhi kebutuhan, ketahanan, dan perkembangan hidupnya.

Badan Pusat Statistik bersama Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) merilis hasil penelitian terkait kemiskinan anak-anak Indonesia. Kedua badan itu berpendapat keterampasan (deprivasi) hak dasar anak pada kelompok anak-anak berusia 0-4 tahun, terutama pada dimensi kesehatan. Anak-anak miskin pada usia itu tidak memiliki jaminan kesehatan dan tidak mendapat imunisasi lengkap. Pada anak kelompok usia 5-17 tahun tingkat keterampasan hak dasar terbesar pada dimensi fasilitas air minum, sanitasi, dan bahan bakar untuk memasak.

Hak dasar anak yang terampas itu bukan hanya satu atau dua dimensi tetapi lengkap, semua dimensi (multidimensi) terpenuhi. Kemiskinan terjadi apabila anak-anak tidak mendapatkan hak-hak dasarnya antara lain sulit mendapatkan akses perumahan, makanan bergizi, pelayanan kesehatan, pencatatan kelahiran dan sebagainya. Anak-anak yang terampas haknya itu dipastikan akan menjadi bagian dari kelompok genarasi lemah. Mereka tidak dapat diharapkan menjadi andalan masa depan orangtua, negara, dan masyarakat.

Pada momentum peringatan Hari Anak Nasional saat ini, kita semua, terutama pemerintah, lebih fokus memikirkan nasib 11 juta anak deprivasi tersebut. Kita tidak boleh meningglkan generasi lemah, kita tidak boleh membiarkan 11 juta anak-anak miskin itu miskin selama-lamanya. Harus ada upaya mengembalikan hak-hak mereka  yang selama ini terampas. ”Kita harus memahami bagaimana profil, kondisi kemiskinan dan faktor-faktor diprivasi. Hal itu harus dicegah dengan kebijakan dan program pemerintah,” kata Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro. Kepala Bappenas juga mengatakan, seperti dimuat beberapa media massa nasional, rata-rata anak yang terdeprivasi itu oleh dua dari enam aspek yang meliputi kesehatan, fasilitas, pangan dan nutrisi, pendidikan, perlindungan anak, dan perumahan.

Sampai hari ini, pemerintah belum benar-benar fokus terhadap nasib 11 juta yang terampas hak-haknya itu. Pemerintah melakukan penanggulangan masih secara sporadis. Pembangunan yang sekarang tengah dilakukan pemerintah harus berasaskan pemerataan. Tidak meratanya pembangunan, antara lain, menyebabkan makin banyaknya anak-anak yang terampas hak-haknya. Dari hasil pendataan yang dilakukan BPS, terlihat, provinsi yang memiliki anak-anak terdeprivasi  adalah provinsi yang tertinggal, baik dalam pendidikan maupun pembangunan infrastruktur. Anak-anak termiskin paling banyak berada di Papua (35,37%) sedangkan terendah dimiliki Bali (5,39%).

Tingginya angka anak-anak yang terampas hak-haknya atau berada di bawah garis kemiskinan menjadi tolok ukur berhasil atau tidaknya program Keluarga Berencana. Program KB, bukan sekadar pencegahan kelahiran tetapi mengembalikan hak anak-anak yang kini terampas. Edukasi tentang manajemen rumah tangga menjadi bagian dari program KB. Harganas Jabar yang dilaksanakan kemarin di GOR Arcamanik Bandung, seyogianya merupakan momentum paling tepat menekan angka anak-anak terdeprivasi. Menurunkan jumlah anak yang terampas hak-haknya  dari 11 juta orang harus menjadi target utama kita semua, termasuk para pengelola Program KB.

Selama Harganas Provinsi Jawa Barat. ”Dua anak lebih baik!” (Furkon)***

Tags

Terkini