nasional

Sayur pun Semakin Tawar

Selasa, 1 Agustus 2017 | 16:15 WIB
opini anda

KRISIS  cengek yang terjadi tahun lalu, tidak berdampak terlalu luas di masyarakat. Tidak semua orang suka makan makanan pedas. Bagi golongan masyarakat ini, harga cengek berapa pun tidak menjadi masalah. Cengek bukan merupakan komioditas yang berada pada lingkup kebutuhan pokok. Namun ketika garam langka di pasar dan harganya melonjak, semua orang menjadi gelisah.  Bukan hanya konsumen umum, industri juga benar-benar terkena dampak langkanya pasokan garam. Kaum ibu terkaget-kaget ketika membeli garam, harganya naik cukup tinggi. Harga garam kemasan 200 gram biasanya dijual Rp 1.500 pertengahan minggu ini menjadi Rp 3.500. Persediaan di warung atau pasar semakin menipis. Kebutuhan garam di Indonesia saat ini mencapai 4,3 juta ton pertahun. Jumlah itu termasuk kebutuhan konsumsi yang berkisar pada angka 780.000 ton pertahun. Sedangkan total panen garam tahun 2016 hanya mencapai 143.000 ton atau 8% dari kebutuhan. Akibatnya, pasokan garam ke pasar sangat sedikit termasuk pasokan garam industri. Tidak heran apabila industri rumahan, terutama kuliner mulai mengurangkan garam pada masakannya. Apabila tidak segera ditangguilangi, kekurangan garam itu akan berakibat panjang. Mungkin saja rasa sayur pun semakin tawar. Industri, terutama produksi ikan asin, pindang, aneka macam kue, roti, bahkan industri besar seperti tekstil, tahun ini mengalami penurunan produksi atau penurunan kualitas. Pengolahan ikan teri, misalnya, ada beberapa perusahaan yang terpaksa mengurangi penyertaan garam pada produknya. Akibanya, pasokann teri ke pasar lebih banyak teri tawar daripada teri asin. Teri tawar akan cepat mengalami penurunan kualitas, kalau tidak cepat busuk, dalam waktu relatif cepat, akan terjadi perubahan warna. Ternyata pengurangan pasokan garam itu terjadi sejak hulu. Para petani garam banyak yang tidak berproduksi. Tahun 2016 terjadi gagal panen garam hampir di semua pertanian garam di Indonesia. Anomali cuaca menjadi biang keladinya. Sampai saat ini, sebagian besar petani garam di Indonesia, khususnya di sentra-sentra produksi garam, sepertri di Cirebon dan Indramayu, masih sangat bergantung pada alam atau cuaca. Garam hanya dapat diproduksi ketika musim kemarau yang cukup panas dan panjang. Sedangkan dua tahun terakhir ini cuaca tidak menentu, pada musim kemarau masih turun hujan cukup deras. Musim kemarau basah merupakan cuaca yang sangat tidak menguntungkan  bagi para petani garam. Sudah hampir dua tahun ini—selama cuaca tidak menentu—sebagian besar petani garam berhenti berproduksi. Lahan pertanian garam di Jabar yang luasnya sekira 6.000 –7.000 hektar nyaris benar-benar garung. Indonesia kekurangan garam? Ironis memang. Di mata dunia, hal itu amat sangat mengherankan. Indonesia merupakan negara yang memiliki bentangan pantai terluas di dunia. Lahan dan bahan baku garam  amat sangat luas dan berlimpah. Seyogianya Indonesia merupakan negara penghasil bahkan pengekspor garam utama dunia. Nyatanya, saat ini, stok garam nasional menyusut, pasokan ke level konsumen semakin kurang, harga di pasar terus naik. Apa yang dapat kita lakukan menanggulangi kelangkaan garam, apa upaya kita agar sayur tidak semakin tawar?  Pemerintah secara terbuka seyogianya menyatakan, Indonesia mengalami krisis garam.Dengan transparansi seperti itu, masyarakat, termasuk para produsen garam maklum,  dalam keadaan darurat ini, pemerintah harus mengimpor garam. Indonesia harus memiliki stok garam untuk dua tahun ke depan, baik garam konsumsi maupun garam industri. Tanpa transparansi, bisa saja timbul  pendapat, dengan mengimpor garam,  pemerintah akan mematikan industri garam dalam negeri. Langkah berikutnya, pemerintah harus segera melakukan alih teknologi pembuatan garam. Para petani  secara serempak diajak mengubah cara bertani garam dari cara tradisional atau konvensional ke industri padat teknologi. Tanpa memarjinalisasi petani garam, infrastruktur penggaraman menjadi prioritas. Industri garam dengan teknologi modern harus segera dilakukan. Akan tetapi harus bertujuan meningkatkan taraf hidup petani garam, menjaga stabilitas harga garam di tingkat konsumen, dan menjadikan Indonesia sebagai penghasil garam utama di dunia. Teknologi yang kita serap dan digunakan di lahan-lahan produksi garam, mengubah kebiasaan petani garam dari ketergantungan pada alam atau cuaca. Produktivitas garam di sentra-sentra pembuat garam akan meningkat. Pembuatan garam dengan teknologi, selain tidak bergantung pada cuaca, produksinya juga jauh lebih besar daripada pembuatan garam konvensional. Produksi garam konvensional rata-rata menghasilkan garam pada satu musim panen berkisar antara 70 – 80 ton. Dengan teknologi modern, garam yang dihasilkan rata-rata mencapai 100 ton perhektar permusim. Dalam mengimpor garam, pengimpor harus berhati-hati. Selain  menguji kualitas, yang paling penting, memilah, mana garam konsumsi mana garam industri. Bukan mustahil, ada garam industri yang bocor, masuk ke tingkat konsumen dengan kemasan ”garam dapur”. Garam industri tidak layak konsumsi. Hanya garam beryodiumlah yang layak konsumsi. Karena itu pengawasan di tingkat produksi dan didtribusi harus tetap dilakukan. Sebaikinya kita, termasuk pemerintah, jangan menyepelekan kekurangan garam di pasar. Kelihatannya sweperti tidak menimbulkan masalah besar, pada kenyatannya, kekuarang pasokan garam berakibat buruk pada konsusmi masyarakat dan produktivitas industri. Selain itu kekurangan garam berakibat merosotnya kinerja usaha kecil dan menengah antara lain  industri kecil pengemasan garam dapur. ***

Tags

Terkini