bisnisbandung.com - Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus-menerus mencuat ke publik setelah adanya surat permintaan dari sejumlah purnawirawan TNI/Polri yang belum juga dibahas oleh DPR RI.
Meski pemakzulan wakil presiden secara konstitusional tidak bisa dianggap enteng, Peneliti Senior BRIN, Siti Zuhro, menilai bahwa polemik seperti ini sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak sebelum Pemilu 2024.
“Menurut saya mengapa kasus seperti ini harus muncul? Kalau saya sudah bisa memperkirakan ketika mau Pemilu 2024,” terangnya dilansir dari youtube Kompas TV.
“Kalau tata cara apa pun yang disepakati dipaksakan dan seolah-olah kita bangsa Indonesia ini bangsa relaktan, bangsa yang nerima tapi ngedumel, kan, gitu,” lanjutnya.
Lebih jauh Siti Zuhro mengungkapnya dalam konstitusi memang pasangan calon presiden dan wakil presiden diusung sebagai satu paket.
Namun setelah menjabat, tanggung jawab keduanya bersifat individual. Artinya, apabila salah satu melakukan pelanggaran serius, proses hukum dan politik dapat diarahkan secara terpisah, tidak lagi sebagai satu kesatuan.
Baca Juga: Sekda Jawa Barat Bentuk Tim Pemburu Ibu Hamil, Herman Targetkan Zero Stunting
Sejarah politik Indonesia juga menunjukkan preseden serupa. Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah mengundurkan diri tanpa diikuti oleh Presiden Soekarno.
Begitu pula dalam era reformasi, saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diberhentikan, wakilnya justru melanjutkan kepemimpinan sebagai presiden.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan ruang bagi evaluasi terhadap masing-masing pemimpin secara terpisah.
Namun, isu yang berkembang saat ini tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum dan tata negara, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial-politik yang lebih dalam.
Baca Juga: Sekda Jawa Barat Bentuk Tim Pemburu Ibu Hamil, Herman Targetkan Zero Stunting
Menurut Siti Zuhro, situasi ini mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang cenderung relaktanmenerima kenyataan politik yang terjadi, tetapi tetap menyimpan ketidakpuasan.
Fenomena "nerima tapi ngedumel" ini dinilai sebagai refleksi dari lemahnya kultur politik deliberatif dan rendahnya upaya pembangunan karakter kebangsaan.