bisnisbandung.com - Presiden Prabowo Subianto membuat gebrakan penting di KTT D8 di Kairo, Mesir, dengan menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi dunia Islam yang terpecah dan standar ganda negara-negara Barat terkait hak asasi manusia.
Pidato tersebut dianggap sebagai langkah strategis untuk mengembalikan posisi Indonesia sebagai pemimpin dunia Muslim yang selama ini absen.
Menurut pengamat politik Hersubeno Arief, pidato Presiden Prabowo ini mencerminkan otokritik terhadap internal dunia Muslim sekaligus kritik terhadap negara-negara Barat yang sering bersikap tidak adil terhadap umat Islam.
“Saya kira Pak Prabowo sudah mulai melangkah untuk menjadi pemimpin. Ini sudah lama Indonesia tidak menunjukkan dirinya sebagai negara besar, sebagai negara Muslim besar,” tuturnya dilansir dari youtube Hersubeno Point.
Baca Juga: Menpar Optimis Pariwisata 2024 Cetak Rekor Baru, Lampaui Pencapaian Tahun Lalu
“Selama ini, mulai dari Bung Karno bahkan sampai Pak Harto, Indonesia selalu mengambil inisiatif dan memimpin negara-negara Muslim,” lanjutnya.
Hersubeno menilai, pidato tersebut tidak hanya menyoroti masalah konflik internal dunia Islam, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia terhadap umat Islam, seperti yang terjadi di Palestina.
Ia menyebut pernyataan Prabowo sebagai "lecutan keras" yang diharapkan dapat mendorong kebangkitan solidaritas di antara negara-negara Muslim.
Baca Juga: Pengamat: Terlihat PDIP Punya Ketertarikan yang Lebih Terhadap Anies Baswedan
“Saya kira, bagi kalangan dunia Muslim, ini semacam lecutan atau otokritik yang sangat keras. Dunia Muslim masih sering ribut sendiri, tidak pernah bersatu. Bahkan, di antaranya, ada yang menjadi kolaborator dengan negara-negara Barat,” bebernya.
Hersubeno menggarisbawahi bahwa pidato ini menunjukkan perbedaan signifikan dalam pendekatan diplomasi internasional Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.
Selama era pemerintahan sebelumnya, terutama di bawah Presiden Jokowi, Indonesia dinilai kurang aktif dalam forum-forum strategis dunia Muslim.
Namun, Prabowo mulai menunjukkan peran yang lebih tegas, seperti yang dilakukan pada era Sukarno dan Soeharto, yang secara aktif memimpin negara-negara dunia ketiga dan Gerakan Non Blok.
Baca Juga: Transformasi Digital dan Ekonomi Hijau, Strategi Hendri Saparini untuk Pemimpin Baru